Pariwisata di Indonesia "Quo Vadis"

Jajaran Pariwisata Indonesia boleh merasa lega, bersyukur bahkan bergembira bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpendapat bidang pariwisata sedemikian penting sehingga tidak menempatkannya kembali sebagai bagian dari Departemen Perhubungan seperti yang dicemaskan orang beberapa waktu lalu. Namun demikian, kita belum tahu persepsi Presiden SBY tentang pariwisata. Kalau dianggap penting, maka pentingnya sebagai apa?

Walaupun demikian, dari berbagai komentarnya tentang pariwisata yang pernah dilontarkannya kiranya dapat diduga bahwa Presiden melihat pentingnya pariwisata sebagai sumber peroleban devisa karena pernah menjadi sumber penghasil devisa kedua setelah sektor migas. Sehubungan dengan itu maka tidaklah mengherankan jika dalam ”kontrak politik” y
ang harus ditandatangani Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, beliau harus dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan meningkatkan perolehan devisa. Paling tidak mengembalikan pariwisata sebagai sumber penghasil devisa kedua setelah migas seperti yang pernah dicapainya beberapa waktu yang lalu.

Potensi Pariwisata
Pariwisata memang sangat berpotensi untuk dijadikan instrumen peningkatan perolehan devisa. Bahkan lebih dari itu, sebagai suatu fenomena yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia ke tempat-tempat yang bukan tempat tinggalnya. Pariwisata mempunyai potensi yang jauh lebih besar dan juga lebih mulia, yaitu untuk meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia sehingga terjalin saling pengertian yang lebih baik, saling menghargai, persahabatan, solidaritas, bahkan perdamaian: salah satu program yang dicanangkan Presiden SBY. Pariwisata juga memiliki potensi untuk dijadikan instrumen untuk memupuk rasa cinta Tanah Air dan untuk mengembangkan jati diri bangsa.

Pariwisata mempunyai potensi untuk dijadikan instrumen guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat, khususnya penduduk setempat, dalam artian meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukan saja kesejahteraan materiil dan spirituil, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan kultural dan intelektual. Dan tidak kalah pentingnya, pariwisata juga berpotensi untuk dijadikan instrumen guna meningkatkan kualitas lingkungan hidup, baik lingkungan fisik atau alam, maupun kebudayaan. Dengan potensi-potensi yang dimiliki pariwisata seperti yang disinggung di atas, jika pariwisata hanya dijadikan instrumen untuk meningkatkan perolehan devisa, berarti kita mengecilkan peranan pariwisata!

Dampak Negatif
Jika Presiden SBY mencanangkan agar pariwisata dijadikan instrumen untuk meningkatkan perolehan devisa, bahkan mencanangkan agar pariwisata dijadikan sumber penghasil devisa terbesar, kami dari Lembaga Studi Pariwisata Indonesia mengkhawatirkan akan timbulnya akibat-akibat yang justru mengeliminasi atau menghilangkan potensi-potensi pariwisata yang sangat besar dan mulia itu tadi. Bahkan sebaliknya, jika hanya dijadikan instrumen untuk meningkatkan perolehan devisa, pariwisata dapat menimbulkan berbagai dampak yang sangat negatif bagi masyarakat, lingkungan dan keuangan negara seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada zaman Orde Baru.

Tujuan peningkatan perolehan devisa berarti orientasi pada peningkatan wisatawan asing. Hal ini menimbulkan kecenderungan - baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat — akan adanya perlakuan diskriminatif terhadap wisatawan dalam negeri. Contohnya, sebelum kerusuhan bulan Mei 1998, pihak pemerintah dan industri pariwisata hampir tidak memperhatikan wisatawan domestik. Sari Club dan Paddy’s Pub yang dijadikan sasaran bom Bali tahun 2002 hanya mau menerima wisatawan asing. Wisatawan Indonesia dilarang masuk. Dan konon, setelah dibuka kembali, Paddy ‘s Pub masih melakukan diskrimasi yang sama.
Orientasi pada wisatawan mancanegara mengakibatkan dibutuhkannya sarana dan fasilitas kepariwisataan berstandar internasional sehingga kandungan impor dari sarana serta fasilitas kepariwisataan itu besar sekali. Hal ini berarti kebocoran devisa yang sangat besar. Menurut pengamatan kami, kebocoran devisa yang terjadi sebagai akibat dari orientasi pada wisatawan mancanegara itu paling sedikit 50 %. Ketika kami mengungkapkan itu di media massa, banyak yang membantahnya dan marah. Belakangan, orang-orang yang membantah dan marah itu tadi malah mengatakan bahwa pengamatan kami bersifat konservatif. Mereka berpendapat bahwa kebocoran yang terjadi sebesar 75 % hingga 80 %.

Kebutuhan akan sarana dan fasilitas kepariwisataan berstandar internasional mengakibatkan terjadinya pembangunan sarana dan fasilitas kepariwisataan berskala besar yang memerlukan lahan luas dan di tempat-tempat strategis. Akibatnya, terjadilah penggusuran penduduk - seringkali secara paksa dengan bantuan alat-alat negara — dengan ”ganti rugi” yang sangat tidak memadai, yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya proses marjinalisasi dan pemiskinan penduduk. Selain itu, kebutuhan akan lahan di tempat-tempat yang strategik seringkali mengakibatkan terjadinya pengalihan fungsi lahan.

Lahan yang subur, yang sebelumnya dijadikan sawah berubah menjadi kawasan pariwisata (atau kawasan industri dan lain sebagainya) dengan akibat menurunnya produktivitas pertanian sehingga Indonesia yang sebelumnya dapat berswasembada akhirnya harus mengimpor beras. Atau dijadikan lapangan golf sehingga menimbulkan pencemaran dan terganggunya ekosistem dengan akibat timbulnya berbagai macam bencana alam.

Masih banyak dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat kebijakan pariwisata yang berorientasi semata-mata pada wisatawan asing dan perolehan devisa yang tidak dapat disebutkan satu per satu, tapi sudah sering kami ungkapkan pada berbagai kesempatan. Kami berharap bahwa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu di bawah pimpinan Presiden SBY dan Wakil Presiden MJK bersedia menengok sebentar ke belakang untuk belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu.

Era Otonomi Daerah
Di samping menganggap penting sehingga tidak lebur kembali ke dalam Departemen Perhubungan, sebagian kalangan—baik di dalam jajaran Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata maupun di kalangan industri pariwisata — ada yang merasa senang bahwa bidang kebudayaan dan pariwisata dalam struktur Kabinet Indonesia Bersatu dijadikan departemen, tidak lagi sebagai Kementerian Negara seperti dalam Kabinet Gotong Royong yang lalu.
Sebenarnya, dalam era otonomi daerah yang sedang bergulir dewasa ini, statusnya sebagai kementerian negara ataupun sebagai departemen tidak mempunyai perbedaan arti yang signifikan karena pemerintah pusat hanya mempunyai kewenangan menetapkan kebijakan nasional, sedangkan kewenangan pembangunan dan pengembangan berada di tangan pemerintah daerah. Juga pembangunan dan pengembangan di bidang kepariwisataan. Sementara itu, perubahan status dari kementerian negara menjadi departemen akan menimbulkan beberapa beban masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Pertama-tama, dengan perubahan status kebudayaan dan pariwisata dari kementerian negara menjadi departemen diperlukan penambahan pegawai. Selain itu, dengan perubahan status tersebut, maka pengembangan kebudayaan dan pariwisata akan dilakukan dengan pendekatan sektoral sedangkan kebudayaan dan pariwisata sebenarnya bersifat lintas sektoral.
Di samping itu, pengembalian status kebudayaan dan pariwisata sebagai departemen juga menimbulkan kesan tiadanya konsistensi kebijakan, kesan timbulnya lagu lama ”ganti pimpinan, ganti kebijakan”, meskipun penyusunan struktur kabinet merupakan hak prerogatif Presiden.

Program 100 Hari
Seperti halnya dengan Presiden SBY sendiri, para menteri Kabinet Indonesia Bersatu pun masing-masing harus menyusun Program 100 Hari. Sebagai seorang yang berpengalaman 12 tahun sebagai pelaku pariwisata, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pasti menyadari bahwa dalam waktu 100 hari ia tidak mungkin menjadikan pariwisata sebagai sumber penghasil devisa ke dua setelah migas seperti yang dicanangkan oleh Presiden SBY. Siapa pun tidak akan mampu melakukannya karena peningkatan perolehan devisa tergantung dari banyak faktor yang serba kompleks dan rumit, yaitu tergantung dari:
  1.   jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (international tourist arrivals),
  2.   rata-rata lama tinggal (average length ofstay), dan
  3.   pengeluaran wisatawan (tourist expenditure).
Dan masing-masing faktor di atas masih ditentukan oleh fator-faktor lain, di mana sebagian berada di luar jangkauan bidang kepariwisataan seperti antara lain faktor keamanan, faktor tranportasi, faktor pemekaran destinasi dan penyebaran wisatawan, faktor diversifikasi dan peningkatan kualitas produkpariwisata dan masih banyak lagi.

Kita tidak tahu Program 100 Hari apa yang akan dilakukan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata beserta jajarannya. Menurut kami, Lembaga Studi Pariwisata Indonesia, yang dapat dilakukan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, di samping melakukan pembenahan internal dalam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, adalah mengidentiflkasi permasalahan utama yang dihadapi Pariwisata Indonesia, mengkajinya, dan selanjutnya menyusun rencana-rencana yang bersifat strategik dan komprehensif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan utama itu tadi. Dalam penyusunan rencana-rencana strategik dan komprehensif itu upaya-upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut kiranya perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan.


2 comments:

  1. Memang kalalu membahas Pariwisata Indonesia tidak akan pernah ada habisnya... sebab indonesia adalah negara yang di ciptakan sebagai pusat pariwisata dunia...

    ReplyDelete
  2. Betul... cuma Pemerintah kita masih sangat kurang untuk membenahi tempat-tempat wisata di Negara kita.. padahal kalau seandainya pemerintah memberdayakan tempatwisata ini sangat bagus dan dapat mendongkrak perekonomian terutama daerah setempat...

    ReplyDelete