Pengertian Postmodernisme


1. Pengertian
“Post” pada istilah ini banyak menimbulkan perbedaan arti, Lyotard mengartikan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. David Griffin, mengartikannya sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan. Anthony Giddens, mengartikannya sebagai wajah arif kemodernan yang telah sadar diri. Sementara Habernas, satu tahap dari proyek modernisme yang memang belum selesai. Sementara menurut Tony Cliff, posmodernisme berarti suatu teori yang menolak teori. Akhiran ”isme” berarti aliran atau sistem pemikiran yang menunjukkan pada kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern.

2. Konteks Sosial yang Melahirkan : ”Penyimpangan Modernisme”
Munculnya pasca modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kita modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap dan progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehidupan disorientasi
”Sisi Gelap” mdoernisme, menurut Anthony Gidden dalam The Sonsequences of Modernity (1990), menimbulkan berkembang biaknya petaka bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk akhir yang menimbulkan petaka tersebut, terutama dipicu oleh : Pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kompetisi tiada akhir akan pertarungan pasar. Kedua, industrialisme yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk memenangkan persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman, rukun, damai dan adil”
Pada taraf prktis, terdapat konsekensi buruk modernisme, antara lain : Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritul-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alm semena-mena. Hal ini telah mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas dan positivis, akhirnya menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkaya bagai mesin. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Keempat, materialisme, yakni orientasi hidup untuk memiliki dan menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah survival of the fittest, atau dalam skala yang besar : persingan pasar bebas. Kelima, militerisme. Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekersan adlah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Setelah perang dingin selesai, kini agama menjadi kategori identits penting yang melegitimasi konflik dan tindak kekerasan. Munculnya fndamentalisme agama adalah contoh dari fenomena ini.
Krisis sains modern yang menimbulkan petaka kehidupan manusia, menyadarkan ilmuan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasar bangunan sains modern. Krisis ini menjadi cikal bakal terjadinya revolusi ilmiah.
Krisis ini metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat digambarkan tahap-tahapnya sebagai berikut :
Tahap I : paradigma ilmiah membimbimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science)
Tahap II : menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiks dan dipercayakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.
Tahap III : para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya.
Skema ketiga tahap tersebut sebagai berikut

3. Filsuf Awal Postmodernisme
Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah yang rasional dan objektif Kierkegaard justru berpendapat scbaliknya, bahwa kebenaran itu bersifat subjektif, "truth is subjectivity'. Pendapat tentang "kebenaran subjektif' ini menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh individu-individu."'
Sementara. itu, Horkheimer dan Adorno dalam buku Dialectic. Lewat tulisan-tulisannya, Nietzsche menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan modernitas. Pandangan Nietzsche terhadap kebudayaan modern bersifat reduksionis. Modern atau modernitas dipandangnya sebagai musuh bagi kehidupan dan insting-insting semenjak zaman renaissance dan selanjutnya, yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan seperti pencerahan, romantisisme, demokrasi, utilitarianisme, ilmu pengetahuan, dan sosialisme. Kekuatan-¬kekuatan tersebut merupakan suatu domestikasi kekuasaan dalam kebudayaan yang kian universalistik. Dampaknya adalah berupa suatu kebudayaan yang kehilangan keyakinan akan kemampuannya sendiri untuk mencipta dan menilai, suatu kebudayaan nihilisme Eropa dipengujung abad ini. Nietzsche melihat modernitas sebagai peningkatan kondisi dekadensi di mana tipe-tipe tinggi dilevelkan oleh rasionalisme, liberalisme, demokrasi, dan sosialisme dan di mana insting mengalami penurunan tajam.
Menurut Nietzsche, nihilisme adalah kondisi dimana "nilai-nilai tertinggi mendevalusi dirinya sendiri”. Nihilisme tak lain adalah "Kondisi postmodern", yakni berakhirnya segala metanarasi.
Dengan memproklamirkan "tuhan telah mati", Nietzsche berpandangan tidak ada kebenaran absolut lagi. Manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai, yakni nilai yang tidak, mengandung kebenaran mu dak atau rata dunia moral. Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, manusia harus meninggalkannya. Nietzsche mengibaratkan, kalau sampan kita sudah aus dan tak dapat lagi digunakan untuk berlayar, sampan itu harus dihancurkan dan diganti dengan sampan yang baru. Menurut Nietzsche, hanya dengan cara ini kita dapat bebas dan terhindar dari mengabsolutkan sesuatu
Edmund Husserl. (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology, Husserl mencoba mengatasi persoalan "subjek-objek" dengan cara membongkar se-cara efektif paham tentang "subjek epistemologis" dan "dunia objektif. Sejak itu, persoalan epistemologi dan juga tentang `ilmu" dan "keilmiahan" terus-menerus dipertanya¬kan. Dalam pencarian ini, Husserl menemukan fondasi absolut pengetahuan yang murni, yakni dalam subjektivitas transendental. Subyektifitas trnsedent, menurut Husserl, terletk pada Lebenswelt, yakni aliran kehidupan langsung sebelum terfleksikan, lapisan dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan teoritisasi ilmiah. Dengan demikian, yang disebut dengan ”dunia objektif” sebetulnya hanyalah penafsiran tertentu saja atas dunia pengalaman hidup sehari-hari (Lebenswelt) yang mengatasi dan mendahului kategori-kategori objektivistik maupun subjektivistik.
Di samping Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, M Keidegger (1889-1976) juga dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan ihwal; tetapi manusia adalah dasein, ia "ada dalam dunia". Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subyek memahami obyek.
Kontribusi pokok pemikiran Heidegger bagi postmodernisme adalah langkah awalnya membongkar tradisi filsafat Barat yang pada dasarnya berpuncak pada filsafat modern. Universalis representasionalisme, dualisme, dan dialektika adalah pilar-pilar filsafat modern yang dirobohkan Heidegger. Robohnya pilar-pilar itu membuka pintu bagi lahirnya "pemikiran lain" yang terlupakan dari pemikiran modern. Pengetahuan, moral, sejarah, dan politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapatkan penghargaan tersendiri. Kalaupun ingin mendapatkan patokan universal, jalan yang harus melalui konsensus. Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran melainkan percakapan.
Fokus filsafat Heidegger terletak pada duatema. Pertama Heidegger memperlihatkan suatu anti-Cartesianisme, yaitu penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan pembedaan antara subyek dan objek. Kedua, filsafat Heidegger sebagian besar adalah pencat terhadap autentisitas, atau apa yang mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai ”kepunyaan sendiri”, yang dapat dimengerti dengan penjelasan tertentu, sebagai keutuhan. Pencarian terhadap autentisitas ini akan membawa kita ke dalam persoalan-persoalan abadi tentang haki diri dan arti kehidupan.

4. Teoretisi Postmodernisme
1) Francouis Lyotard
Dilahirkan di Versailles 10 Agustus 1924, dan meninggal di Paris tahun 21 April 1998. Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana identifikasi pengetahuan bersama representasi, karakteristik masyarakat modern, tindakan yang kita tampilkan mereduksi ragam dari tindakan yang kita tampilkan dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa kemudian menjadi serangkaian pernyataan yang dapat diperlakukan sebagai benda, sebagai komoditas dalam masyarakat kapitalis. Bagi Lyotard pengetahuan rasional tidakbisa lagi dijadikan sebagai dasar bagi kritik, juga tidak memiliki emansipasi sebagaimana dijanjikan oleh para pemikir pemikir abad pertengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat, sejauh yang dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai satu-satunya penjelasan yang benar dan absah.
Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikai dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan eksperimentasi dan revolusi kehidupan terns-mencrus. Lyota mengatakan, "Marilah kita perangi totalitas ... marilah kita hidupkan perbedaan. Kenyataannya, postmodernisme menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoritis yang berbeda-beda : ”Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pndangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertolernsi atas pendirian yang tak mau dibanding-bandingkan.

2) Michel Faucault (1926 – 1984)
a. Discourse, Power and Knowledge
Pemikiran Nietzhe berimbs pada pemikiran Foucault. Faucoult memang tidak secara tegas menolak keuniversalan pengetahuan, tetapi dari pandangannya tentang wacana yng bersifat diskontinu” tampaklah penolakan itu. bagai Foucault , setiap era sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia secara khas, berbeda dengan era sejarah yang lain. Dengan kata lain, era historis yang berbeda tentunya memiliki perbedaan episteme untuk setiap periodenya. Pandangan diskontinuitasnya ini merupakan salah satu aspek dari gugatannya terhadap tema-tema modern seperti asal-muasal, tujuan akhir, kontinuitas, totalitas, dan subjek yang utuh.
Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan “klsik” yang ditolak oleh Foucault, yaitu:
a) Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi khas untuk setiap waktu dan tempat
b) Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap karakter ”objektif” dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambi perspektif
c) Pengetahuan tidak dilihat sebagai cara pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.
d) Pengetahuan sebagai wacana tidak muncul sebagai evolusi sejarah yang konstan, melainkan bersifat diskontinu.

Salah satu yang paling inspiratif bagi postmodernisme adalah sikapnya dalam memahami fenomena-fenomena modern yang bernama “pengetahuan” itu, terutama pengetahuan sosial, ia memerkarakan tentang “Apa itu pengetahuan” secara genealogis dan arkeologis, artinya dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual macam “kegilaan”, “seksualitas”, “manusia”, dan sebagainya yang biasanya dianggap “natural” itu sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus kekuasaan; kekuasaan untuk “mendefinisikan” siapa kita. Ilmu ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Kendati kekuasaan itu tidak selalu negatif-represif melainkan juga positif-produktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru), toh secara umum ia memaksa kita memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillane) lewat ”penormalan”, regulasi dan disiplin (Discipline and Punish, Power/Knowledge).

b. Arkeologi Foucault
Jika kita memandang modernitas bermula pada abad ke 16 dan ke-17, maka karya Foucault bisa dilihat sebagai refleksi kritis atas perbedan antara bentuk-bentuk kebudayaan pra-modern dan modern. Dalam Madnes and Civilization (1961) Foucault mengawali gagasannya tentang ”arkeologi kebisuan penderita kegilaan” di dalam suatu dunia di mana penderita kegilaan menggantikan penyakit kusta sebagai kematian ”yang telah tiba”.
Menurut Foucault, “posisi liminal” penderita kegilaan di abad pertengahan terlihat dari disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam ”bahtera untuk orang-orang sinting”. Humanisme renaissance berperan membebaskan suara penderita kegilaan sekaligus mengontrolnya dengan cara memasukkan kegilaan ke dalam ”semesta diskursus”, namun demikian, hanya dalam periode klasiklah penderita kegilaan direduksi menjadi kebisuan dengan jaln mengungkungnya dalam rumah-rumah sakit.
Foucault berangkat dari gagasan tentang episteme atau ”bidang epsitemologis” yang mengatur syarat-syarat bagi pengetahuan yang mungkin. Menurut Foucault, terdapat tiga episteme berbeda-beda yang saling mendukung masa renaissance, period-periode klasik, dan abad ke-19, yang memisahkan periode klasik dengan abad ke-19 adalah bahwa yang terdahulu masih mempertahankan hubungan yang tak terbatas, sedangkan masa berikutnya meneguhkan perbatasan analitis


1 comments:

  1. terimakasih atas blog nya sangta bermanfaat bolehkah saya meminta setiap sumbernya? (refrensi)?

    ReplyDelete