Dalam bagian ini akan diuraikan bagaimana praktek penggunaan pasal 156a dalam pengadilan. Akan diuraikan problem dan korban dari penggunaan pasal ini. Hal ini penting karena salah satu problem krusial dalam revisi KUHP adalah masalah agama. Ada kecenderungan, kebijakan pemerintah dalam masalah agama senantiasa menimbulkan pro-kontra. Hal ini karena kelompok-kelompok agama di Indonesia mempunyai aspirasi yang bukan saja berbeda, tapi saling bertentangan. Karena itu, kelompok-kelompok agama cenderung ramai-ramai meminjam “tangan negara” untuk memperjuangkan dan mengamankan posisinya. Kecenderungan ini tampak kian jelas bila kita mengikuti pro-kontra sejumlah regulasi daerah yang biasa disebut dengan Perda Syariat Islam.
Dengan “mengamankan” agenda keagamaan melalui pasal dalam undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan yang diskriminatif sekalipun bisa menjadi “kebenaran” karena disahkan oleh undang-undang. Kondisi ini jelas berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi sandera untuk membenarnya tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun.
Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Ia memberikan mandat kepada negara untuk melindungi masyarakat luas dari perbuatan orang per orang atau kelompok orang yang hak-haknya terlanggar di satu sisi, dan memberi kewenangan kepada negara untuk menghukum orang yang tindakannya melanggar hukum. Berikut ini akan diuraikan beberapa kasus penodaan agama yang sudah divonis oleh pengadilan.
1. Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung” karya ki Pandji Kusmin
Sejauh riset yang dilakukan di sini, kasus merupakan kasus penodaan agama pertama setelah pasal 156a dimasukkan dalam KUHP. Korbannya adalah Hans Bague Jassin (HB Jassin) yang divonis telah melakukan penodaan agama dengan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Masalah itu bermula dari terbitknya cerpen berjudul Langit Makin Mendung (LMM) karya Ki Pandji Kusmin yang dimuat di majalah Sastra edisi 8 Agustus 1968. Cerpen itu menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, terutama umat Islam. Akibat rekasi massa yang semakin kuat, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran majalah Sastra yang memuat cerpen tersebut karena isinya dianggap menghina kesucian agama Islam. Akibatnya ratusan eksemplar majalah Sastra disita di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan.
Bukan itu saja, protes massa terus berlanjut dengan demonstrasi ke kantor majalah Sastra. Sekitar 50 pemuda berunjuk rasa dari mulai orasi sampai aksi coret-coret dinding kantor dengan segala macam penghinaan. Nuansa sindrom komunisme begitu kuat dalam tulisan-tulisan demonstran seperti H.B Jassin Kunjuk! (Kunyuk, ejaan lama-red), H.B Jassin Tangan Kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra: Anti Islam, dan lain-lain. Akibat demonstasi tersebut majalah Sastra kemudian ditutup sampai batas waktu yang ditentukan.
Kalangan sastrawan pun bereaksi. Di Medan sejumlah sastrawan terkemuka seperti Sori Siregar, Zakaria M. Passe dan Rusli A. Malem membuat pernyataan protes. Di Jakarta tak ketinggalan Umar Kayam, Taufiq Ismail, Trisno Sumarjdo, D. Djajakusuma dan Slamet Soekirnanto ikut menandatangani pernyataan protes. Nama Ki Pandjikusmin sendiri ‘mencuat’ sehingga dipelesetkan menjadi "Kibarkan Pandji-Pandji Komunis Internasional" . Polemik terus berkelanjutan. Setahun sesudah itu tajuk rencana harian Indonesia Raja menulis : "Ki Pandji Kusmin, Tampillah Engkau Sekarang Sebagai Ksatria."
H.B Jassin selaku redaktur majalah Sastra diseret ke pengadilan. Akan tetapi di muka pengadilan ia berkeras tidak mengungkap identitas Ki Pandji Kusmin dengan berpegang pada UU Pers 1966: "bila sang pengarang tidak membuka identitasnya redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya." Cerpen ini juga berbuntut panjang dan menyebabkan polemik sastra meributkan soal fantasi, kebebasan mencipta dan agama. Polemik tersebut berkepanjangan hingga dua tahun lamanya.
Di pengadilan H.B Jassin mengaku selama ini hanya berhubungan lewat surat. Ia juga mengatakan sang pengarang berprofesi sebagai pelaut. Alamatnya selalu berpindah-pindah. Spekulasi bermunculan. Bahkan ada yang berasumsi H.B Jassin sendirilah Ki Pandji Kusmin itu.
Ki Pandji Kusmin sendiri bukannya tidak tinggal diam. Pengarang misterius ini lewat redaksi Harian Kami tertanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan pernyataan mencabut cerpennya dan menganggapnya tak pernah ada. Berikut pernyataannya:
"Sebermula sekali bukan maksud saya menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga. dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa rezim Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya ke dalam bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam."
Kisah ini belakangan diterbitkan dalam buku berjudul “Pledoi Satra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandji Kusmin” tahun 2004. Berikut ini dilampirkan cerpen dimaksud dan juga resensi buku Pledoi Sastra.
Dengan “mengamankan” agenda keagamaan melalui pasal dalam undang-undang dan regulasi lainnya, maka tindakan yang diskriminatif sekalipun bisa menjadi “kebenaran” karena disahkan oleh undang-undang. Kondisi ini jelas berbahaya, karena undang-undang bisa menjadi sandera untuk membenarnya tindakan yang melanggar konstitusi sekalipun.
Salah satu fungsi penting hukum pidana adalah untuk memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mengancam dan membahayakan, serta merugikan kepentingan umum. Ia memberikan mandat kepada negara untuk melindungi masyarakat luas dari perbuatan orang per orang atau kelompok orang yang hak-haknya terlanggar di satu sisi, dan memberi kewenangan kepada negara untuk menghukum orang yang tindakannya melanggar hukum. Berikut ini akan diuraikan beberapa kasus penodaan agama yang sudah divonis oleh pengadilan.
1. Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung” karya ki Pandji Kusmin
Sejauh riset yang dilakukan di sini, kasus merupakan kasus penodaan agama pertama setelah pasal 156a dimasukkan dalam KUHP. Korbannya adalah Hans Bague Jassin (HB Jassin) yang divonis telah melakukan penodaan agama dengan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Masalah itu bermula dari terbitknya cerpen berjudul Langit Makin Mendung (LMM) karya Ki Pandji Kusmin yang dimuat di majalah Sastra edisi 8 Agustus 1968. Cerpen itu menimbulkan kecaman dari berbagai pihak, terutama umat Islam. Akibat rekasi massa yang semakin kuat, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran majalah Sastra yang memuat cerpen tersebut karena isinya dianggap menghina kesucian agama Islam. Akibatnya ratusan eksemplar majalah Sastra disita di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan.
Bukan itu saja, protes massa terus berlanjut dengan demonstrasi ke kantor majalah Sastra. Sekitar 50 pemuda berunjuk rasa dari mulai orasi sampai aksi coret-coret dinding kantor dengan segala macam penghinaan. Nuansa sindrom komunisme begitu kuat dalam tulisan-tulisan demonstran seperti H.B Jassin Kunjuk! (Kunyuk, ejaan lama-red), H.B Jassin Tangan Kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra: Anti Islam, dan lain-lain. Akibat demonstasi tersebut majalah Sastra kemudian ditutup sampai batas waktu yang ditentukan.
Kalangan sastrawan pun bereaksi. Di Medan sejumlah sastrawan terkemuka seperti Sori Siregar, Zakaria M. Passe dan Rusli A. Malem membuat pernyataan protes. Di Jakarta tak ketinggalan Umar Kayam, Taufiq Ismail, Trisno Sumarjdo, D. Djajakusuma dan Slamet Soekirnanto ikut menandatangani pernyataan protes. Nama Ki Pandjikusmin sendiri ‘mencuat’ sehingga dipelesetkan menjadi "Kibarkan Pandji-Pandji Komunis Internasional" . Polemik terus berkelanjutan. Setahun sesudah itu tajuk rencana harian Indonesia Raja menulis : "Ki Pandji Kusmin, Tampillah Engkau Sekarang Sebagai Ksatria."
H.B Jassin selaku redaktur majalah Sastra diseret ke pengadilan. Akan tetapi di muka pengadilan ia berkeras tidak mengungkap identitas Ki Pandji Kusmin dengan berpegang pada UU Pers 1966: "bila sang pengarang tidak membuka identitasnya redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya." Cerpen ini juga berbuntut panjang dan menyebabkan polemik sastra meributkan soal fantasi, kebebasan mencipta dan agama. Polemik tersebut berkepanjangan hingga dua tahun lamanya.
Di pengadilan H.B Jassin mengaku selama ini hanya berhubungan lewat surat. Ia juga mengatakan sang pengarang berprofesi sebagai pelaut. Alamatnya selalu berpindah-pindah. Spekulasi bermunculan. Bahkan ada yang berasumsi H.B Jassin sendirilah Ki Pandji Kusmin itu.
Ki Pandji Kusmin sendiri bukannya tidak tinggal diam. Pengarang misterius ini lewat redaksi Harian Kami tertanggal 22 Oktober 1968 mengeluarkan pernyataan mencabut cerpennya dan menganggapnya tak pernah ada. Berikut pernyataannya:
"Sebermula sekali bukan maksud saya menghina agama Islam. Tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad S.A.W, sorga. dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa rezim Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya ke dalam bentuk cerpen. Alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam."
Kisah ini belakangan diterbitkan dalam buku berjudul “Pledoi Satra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki Pandji Kusmin” tahun 2004. Berikut ini dilampirkan cerpen dimaksud dan juga resensi buku Pledoi Sastra.
0 comments:
Post a Comment