Urgensi Integrasi Pendekatan Agama dan Modern dalam Pekerjaan Sosial

Dalam memberikan pengantarnya terhadap buku Caputo “ Agama Cinta Agama Masa Depan”, Sugiharto berargumen bahwa Untuk menjadi sungguh-sungguh berarti kembali, maka agama perlu melakukan kritik-diri secara structural, mengenali persoalan-persoalan mendasar dunia modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang baru. Tanpa itu, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban paling mengerikan, atau semangat nostalgis naif yang berbahaya.

Secara substansial pernyataan tersebut mengandung makna bahwa sesungguhnya peran agama dalam praktek pekerjaan sosial sangat urgen mengingat adanya tanggung jawab etis peksos terhadap klien dan terhadap masyarakat yang juga terinternalisasi dalam nilai-nilai universal keagamaan. Namun, hal yang sangat ironis adalah tingginya signifikansi agama dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, tidak dibarengi dengan perkembangan yang memadai dalam hal integrasi pendekatan agama dalam ilmu-ilmu sosial dan pendampingan masyarakat. Agama nampaknya hanya bersifat experential, yang kita dapatkan dan pelajari dari pengalaman, tapi tidak bersifat scientific.

Pendekatan agama dalam terapi klinikal ataupun pemberdayaan masyarakat secara luas, misalnya, masih bersifat tradisional karena belum dikembangkan secara ilmiah. Pendekatan agama, dengan demikian, tidak ”layak” sebagai bagian dari pendekatan modern dan selanjutnya, tidak mampu menjadi model intervensi dan pendampingan di masyakarat.

Dengan demikian, integrasi terhadap kedua jenis pendekatan (modern dan Agama) merupakan sebuah keharusan dengan mengemukakan beberapa alasan : (1) Secara historis dan filosofis, Peksos memiliki pertalian erat dengan agama. Sejarah telah membuktikan bahwa pekerjaan sosial sendiri tumbuh dan berkembang dari kalangan agamais (Kristen katolik di Inggris). Sedangkan secara filosofis baik peksos dan agama, sama-sama menaruh perhatian pada aspek mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan tanpa pilih buluh. (2) Peksos dan spiritualitasdan agama saling belajar dan memberi kontribusi satu sama lain.(3) Pengetahuan tentang spiritualitas dan agama membantu peksos membangun kosmologi dan antropologi spiritual. (4) Tidak ada alasan peksos dan pemimpin agama untuk tidak berkerjasama. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa sesungguhnya islam baik dan relevan di setiap masa dan tempat

Dalam agama islam sendiri, keterpautan antara Ilmu pengetahuan dan ajarannya sangatlah erat (Al–Islam Shalih Li Kulli Zaman Wa Makan). Bahkan para ilmuan seperti Ernest Gellner misalnya, berpendapat bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama yang transformatif dan bahkan menurutnya, Islamlah yang paling memiliki kedekatan dengan ilmu pengetahuan. Pengakuan ini dijelaskannya dalam beberapa aspek sebagai berikut: Pertama, universalisme ajaran Islam, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja bahkan Islam mapu menyerap tradisai dan budaya lokal. Kedua, Skripulisme Islam, bahwa Islam mengajarkan bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipelajari oleh siapa saja, bukan monopoli kelompok tertentu dalam hirarki keagamaan. Ketiga, Egalitarianisme spiritual, dalam arti tidak terdapat sistem kependetaan atau kerahiban dalam Islam, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi spiritualnya. Keempat, Sistematis rasional dalam kehidupan sosial. Kelima, Semangat keilmuan yang tinggi, sehingga setiap pemeluk Islam meyakini betapa tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu.

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pengintegrasian antara pendekatan agama dan pendekatan moderen dalam pekerjaan sosial merupakan sebuah keniscayaan. Baik ilmu pengetahuan dan agama yang saling tidak bertegur sapa, telah terbukti secara faktual mengalami kegagalan dalam melakukan misi kemanusiaannya. Melalui pembahasan yang komparatif ini, terlihat bahwa integrasi antara keduanya adalah sebuah keharusan.



Kesimpulan

  1. Ambruknya ideology raksasa seperti kapitalime yang terbukti dangkal dalam menuntaskan masalah kemanusiaan bahkan melahirkan berbagai patalogi sosial, memberikan peluang sekaliguis tantangan bagi pendekatan keagaman dalam wacana keilmuan terutama pekerjaan sosial untuk dapat memberikan jalan alternative terhadap kemajuan peradaban dalam bingkai nilai-nilai universal religius yang humanis , demokratis dan berkeadilan
  2. Konsekwensi pemahaman keagaman yang kaku dan tidak bersifat scientific justru akan memunculkan berbagai stigmatisasi negative terhadap peran penting agama dalam relasi kemanusiaan sesuai mandat pekerjaan sosial. Stigmatisasi tersebut berpandangan bahwa agama adalah dogmatism, rigidity dan gender bias, excessive self-blaming, Fatalistik dan status quo serta dianggap tidak peduli dengan urusan kekinian di dunia.
  3. Bahwa baik pendekatan keagamaan maupun moderen yang tidak diintegratif dan saling bekerja sama, dapat menuai kegagalan dalam praktek pekerjaan sosial. Dengan kata lain, baik Pengetahuan rasionalis (bi-logical) dan spiritual serta pendekatan keagamaan yang tercerai berai dan cenderung saling mengalienasi sama-sama berpotensi untuk gagal.
Daftar Bacaan
Lihat Caputo, D. Jhon, Agama Cinta Agama Masa Depan, (Bandung : Mizan, 003), h. XIX-XXI
Ernest Gellner, Muslim Society, (Cambridge University Press, 1981), h. 264-265


0 comments:

Post a Comment