1. Aspek Tasawuf
a. Maqamat
Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang Muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa Arab disebut dengan maqamat, yang merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah kedudukan seseorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-‘ibadat), kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian (al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah).
b. Ahwal
At-Thusi menjelaskan, ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena ketulusannya dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-‘ibadat, al-mujahadat, dan al-riyadhat seperti dalam maqamat.
Senada dengan al-Thusi, al-Qusyairi mengatakan bahwa mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal merupakan anugerah Allah, sedangkan maqamat merupakan hasil usaha. Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang hamba melalui kerja keras.
Meskipun para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat, namun secara umum maqamat itu meliputi: al-taubat, al-zuhd, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Mengenai tahapan maqamat ini secara singkat digambarkan sebagai berikut:
Menurut sebagian ulama, syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam. Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah.
Ibn ‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi Syarh al-Hikam menyebutkan: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Al-Ghazali mengatakan: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’ah).
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
a. Maqamat
Sebagai ilmu, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang Muslim dapat berada dekat dengan Allah sedekat-dekatnya. Untuk dapat mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Allah, seorang muslim harus menempuh perjalanan panjang yang penuh duri yang dalam bahasa Arab disebut dengan maqamat, yang merupakan bentuk jamak dari maqam.
Pengertian maqam menurut para ulama tasawuf berbeda-beda, namun pengertian yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Menurut al-Thusi, maqam adalah kedudukan seseorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah (al-‘ibadat), kesungguhan melawan hawa nafsu (al-mujahadat), latihan-latihan kerohanian (al-riyadhat), serta mengerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah (al-inqitha’ ila Allah).
b. Ahwal
At-Thusi menjelaskan, ahwal adalah suasana yang menyelimuti kalbu atau sesuatu yang menimpa hati seorang shufi karena ketulusannya dalam mengingat Allah. Oleh karena itu, ahwal tidak diperoleh melalui al-‘ibadat, al-mujahadat, dan al-riyadhat seperti dalam maqamat.
Senada dengan al-Thusi, al-Qusyairi mengatakan bahwa mengatakan bahwa maqam ialah keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Allah yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai kewajiban. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ahwal merupakan anugerah Allah, sedangkan maqamat merupakan hasil usaha. Ahwal adalah keadaan yang datang tanpa wujud kerja, sedangkan maqamat dihasilkan seseorang hamba melalui kerja keras.
Meskipun para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat, namun secara umum maqamat itu meliputi: al-taubat, al-zuhd, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Mengenai tahapan maqamat ini secara singkat digambarkan sebagai berikut:
- Maqam taubat, disini seorang calon shufi harus bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
- Maqam Zuhd, yakni mengasingkan diri dari dunia ramai.
- Maqam wara’, yakni meninggalkan hal-hal yang syuhbhat.
- Maqam faqr, yakni hidup sebagai orang fakir.
- Maqam shabr, yakni harus sabar menghadapi cobaan yang datang menimpanya.
- Makam tawakkul, yakni menyerahkan sebulat-bulatnya kepada keputusan Allah
- Maqam ridha, yakni ia merasa telah dekat dengan Allah, sehingga ia tidak meminta sesuatu apapun kecuali ridha-Nya.
Menurut sebagian ulama, syari’ah dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan sangat erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam. Syari’ah mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah.
Ibn ‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi Syarh al-Hikam menyebutkan: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Al-Ghazali mengatakan: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’ah).
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
0 comments:
Post a Comment