Perkawinan Beda Agama

Pemahaman hukum dan menganalisis pelaksanaan Perkawinan Beda Agama menurut undang-undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 dan agama-agama yang ada di Indonesia dan bagaimanakah sahnya perkawinan beda agama, jika kehendak untuk melaksanakan perkawinan tersebut mendapat penolakan dari lembaga atau pihak-pihak terkait seperti Kantor Catatan Sipil, Kantor Urusan Agama dan Pengadilan. Demikian hal yang melatar belakangi penelitian Sirman Dahwal, S.H., M. H. dalam Ujian Terbuka Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB) Senin (16/1/12) di ruang Auditorium Lantai 6, FH-UB.

Sirman yang telah menyelesaikan ujian tertutup pada Jum’at, 4 Nopember 2011 lalu, menyimpulkan penelitian ini adalah penelitian hukum empiris (socio legal research) atau penelitian sosial tentang hukum. Penelitian ini melihat sebagai gejala social, focus penelitian ini adalah perilaku manusia, baik individu maupun masyarakat, berkaitan dengan hukum, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan beda agama. Dalam menganalisis penelitian ini digunakan beberapa teori yang dianggap relevan yaitu: Teori Hak Asasi Manusia, Teori Hukum Pembangunan, Teori Pluralisme Hukum dan unifikasi hukum, Teori Chaos, Teori Hukum Berbasis Agama. 

Dari hasil penelitian tersebut Sirman mendapatkan tiga hal yang di temukan. Ada tiga model yang lazim ditempuh pasangan perkawinan beda agama yaitu berdasarkan penetapan/putusan pangadilan atau Yurisprudensi Mahkamah Agung, berdasarkan otoritas agama, dan sahnya Perkawinan Beda Agama di Indonesia, adalah dengan berpedoman kepada Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawina sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. 

Terakhir adalah upaya hukum yang bisa dilakukan oleh pasangan perkawinan beda agama apabila mendapat penolakan dari instansi pelaksanaa perkawinan seperti Kantor Catatan Sipil (bagi umat non muslim) dan Kantor Urusan Agama (bagi umat muslim). 

Maka, mereka mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Negeri ataupun ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan penetapan penagdilan dan permohonan mereka dikabulkan. Malahan upaya hukum tersebut dapat diteruskan ke Mahkamah Agung apabila ternyata mendapat penolakan dari pengadilan. Sehingga dengan demikian, Perkawinan Beda Agama dapat dilaksanakan sesuai dengan keputusan atau penerapan hakim. 


Mahasiswa S3 Ilmu Hukum FHUB ini berpresentasi dengan judul “Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi Berbagai Kasus di Indonesia periode (1986 – 2010)” dihadapan Prof. Dr. Moch. Munir, S.H. (promotor), Dr. A. Rachmad Budiono, S.H., M. H dan Dr Taufiqurrahman, S.H., M.H, (ko. Promotor) dan empat tim penguji antara lain: Prof. Dr. Sudarsono, S.H., M.S. , Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, M. S., Prof. Dr. Masruchin Ruba’I, S. H., M.S., Prof . Dr. Isrok, S.H. M. S., serta satu tim penguji tamu Prof. Dr. Afdhol, S.H. , M.S. [ang/pon]


0 comments:

Post a Comment