Penilaian teologis mengenai tradisi-tradisi keagamaan.
Penilaian teologis mengenai tradisi agama-agama bertolak dari prinsip bahwa semua manusia diselamatkan oleh dan dalam Kristus. Allah menghendaki semua manusia diselamatkan. Rencana keselamatan Allah itu sudah mulai sejak awal penciptaan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa janji keselamatan Allah kepada manusia diwartakan. Janji keselamatan Allah itu terpenuhi dalam din Kristus. Karena penebusan Kristus merupakan penebusan universal, maka didalam Kristus Allah menyelamatkan seluruh umat manusia (Kis 2:38, 4:12, 10:43). Jadi Roh .Allah berkarya bagi seluruh umat manusia, maka gereja tidak bisa memonopoli karya Allah.
· Dalam Nostra Aetate.2 dinyatakan bahwa Gereja mengalami adanya kebenaran dan kesucian di dalam agama Islam, Hindu, Budha dsb. Maka merekajuga terkena keselamatan.
· Dalam Evangeli Nuntiandi 53, dikatakan bahwa Gereja dan agama-agama lain adalah sebagai musafir. Artinya Gereja sedang dalam perjalanan bersama dengan agama-agama lain untuk menuju pada Allah yang satu dan sama.
· Dalam Lumen Gentium 16 dikatakan bahwa orang-orang yang tidak kenal dengan Kristus dan GerejaNya bukan karena kesalahannya, melainkan mereka hidupnya mencari Allah, sesuai dengan kehendak Allah, maka mereka juga terkena keselamatan Allah. Karena walaupun mereka berada di luar gereja, namun mereka ada di dalam Kristus.
BENTUK DIALOG.
Uraian berikut ini merupakan pemaparan mengenai bagaimana dialog mesti dijalankan, bagaimana bentuk dan syarat-syarat pelaksanaan keterlibatan Gereja. Yang dimaksud dengan "bentuk" ialah cara atau model dialog itu diungkapkan. Cara di sini tidak hanya menunjuk pada metode atau aruran prinsip-pnnsip, melainkan juga mencakup objek atau tema yang didialogkan. Dan karena da'am kenyataan, objek atau tema yang didialogkan beraneka ragam bobotnya, maka subjek yang melibatkan diri dalam dialog itu pun perlu diadakan pembedaan-pembedaan. Dalam dialogue and Mission (28-35) diajukan empat bentuk dialog (bdk. DP 42; ES bab III; juga RM 57) : pertama-tama dialog kehidupan, kemudian dialog karya, meyusul dialog para ahli untuk tukar-menukar pandangan teologis, dan aKnunya dialog mengenai pengalaman keagamaan.
1. Dialog Kehidupan (bngi semua orang).
Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semra orang dan sekaligus merupakan level dialog yang paling mendasar (bukan paling rendah). Sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalarr. masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar ialah ciri dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari; aneka pengalaman yang menyusahkan, mengancam, dan menggembirakan dialami bersama-sama. Masing-masing dengan pengalaman hidupnya yang khas - dalam kewajarannya sebagai orang yang tinggal bersama - senantiasa tergerak untuk mebagikan pengalamannya. Saling terlibat dalam pengalaman orang lain berlangsung dalam suatu wujud kehidupan yang dialogis.
Penilaian teologis mengenai tradisi agama-agama bertolak dari prinsip bahwa semua manusia diselamatkan oleh dan dalam Kristus. Allah menghendaki semua manusia diselamatkan. Rencana keselamatan Allah itu sudah mulai sejak awal penciptaan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa janji keselamatan Allah kepada manusia diwartakan. Janji keselamatan Allah itu terpenuhi dalam din Kristus. Karena penebusan Kristus merupakan penebusan universal, maka didalam Kristus Allah menyelamatkan seluruh umat manusia (Kis 2:38, 4:12, 10:43). Jadi Roh .Allah berkarya bagi seluruh umat manusia, maka gereja tidak bisa memonopoli karya Allah.
· Dalam Nostra Aetate.2 dinyatakan bahwa Gereja mengalami adanya kebenaran dan kesucian di dalam agama Islam, Hindu, Budha dsb. Maka merekajuga terkena keselamatan.
· Dalam Evangeli Nuntiandi 53, dikatakan bahwa Gereja dan agama-agama lain adalah sebagai musafir. Artinya Gereja sedang dalam perjalanan bersama dengan agama-agama lain untuk menuju pada Allah yang satu dan sama.
· Dalam Lumen Gentium 16 dikatakan bahwa orang-orang yang tidak kenal dengan Kristus dan GerejaNya bukan karena kesalahannya, melainkan mereka hidupnya mencari Allah, sesuai dengan kehendak Allah, maka mereka juga terkena keselamatan Allah. Karena walaupun mereka berada di luar gereja, namun mereka ada di dalam Kristus.
BENTUK DIALOG.
Uraian berikut ini merupakan pemaparan mengenai bagaimana dialog mesti dijalankan, bagaimana bentuk dan syarat-syarat pelaksanaan keterlibatan Gereja. Yang dimaksud dengan "bentuk" ialah cara atau model dialog itu diungkapkan. Cara di sini tidak hanya menunjuk pada metode atau aruran prinsip-pnnsip, melainkan juga mencakup objek atau tema yang didialogkan. Dan karena da'am kenyataan, objek atau tema yang didialogkan beraneka ragam bobotnya, maka subjek yang melibatkan diri dalam dialog itu pun perlu diadakan pembedaan-pembedaan. Dalam dialogue and Mission (28-35) diajukan empat bentuk dialog (bdk. DP 42; ES bab III; juga RM 57) : pertama-tama dialog kehidupan, kemudian dialog karya, meyusul dialog para ahli untuk tukar-menukar pandangan teologis, dan aKnunya dialog mengenai pengalaman keagamaan.
1. Dialog Kehidupan (bngi semua orang).
Dialog kehidupan diperuntukkan bagi semra orang dan sekaligus merupakan level dialog yang paling mendasar (bukan paling rendah). Sebab ciri kehidupan bersama sehari-hari dalarr. masyarakat majemuk yang paling umum dan mendasar ialah ciri dialogis. Dalam kehidupan sehari-hari; aneka pengalaman yang menyusahkan, mengancam, dan menggembirakan dialami bersama-sama. Masing-masing dengan pengalaman hidupnya yang khas - dalam kewajarannya sebagai orang yang tinggal bersama - senantiasa tergerak untuk mebagikan pengalamannya. Saling terlibat dalam pengalaman orang lain berlangsung dalam suatu wujud kehidupan yang dialogis.
Dialog kehidupan seringkali memang tidak langsung menyentuhnperspekdf agama atau iman. Dialog itu lebih digerakkan oleh sikap-sikap solider dan kebersamaan yang melekat. Biarpun demikian sebagai orang beriman, solidaritas dan kebersamaan yang lahir dalam kehidupan sehari-hari tak mungkin dipisahkan apalagi silucuti dari kehidupan iman mereka. Setiap pengiktu Kristus, karena panggilannya sebagai orang Kristen, duninta untuk menghayati dialog kehidupannya dalam semangat injili; tak peduli dalam situasi apa pun, baik sebagai minoritas maupun m?yo"tas. Artinya, setiap pengikut Kristus harus mengungkapkan nilai-nilai Injil dalam tugas dan karyanya sehari-hari, dalam segala bidang -kehidupannya : sosial, politik, ekonomi, kesenian, pendidikan, filsafat dan seterusnya.
2. Dialog Karya (untuk Bekerjasama).
Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerjasama yang lebih intens dan mendalam dengan para pengikut agama-agania lain. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk dialog semacam ini sekarang kerap berlangsung dalam kerangka kerjasama organisasi-organisasi intemasional, dimana orang-orang Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia (bdk. DM 31). Sejak Konsili Vatikan II, Gereja secara konkret dan resmi terlibat dalam dialog karya. Dua atau tiga sekretariat sekurang-kurangnya yang menangani masalah-masalah dunia, didirikan. Sekretariat-sekretariat itu tidak menggeluti dialog agama-agama, namun demikian pelaksanaan kerjanya meminta kerjasama dengan para penganut agama-agama lain. Dua sekretariat itu ialah The Pontifical Commission for Justice dan Peace (1967) dan Dewan Kapausan "Cor Unum" (1971).
2. Dialog Karya (untuk Bekerjasama).
Yang dimaksudkan dengan dialog karya adalah kerjasama yang lebih intens dan mendalam dengan para pengikut agama-agania lain. Sasaran yang hendak diraih jelas dan tegas, yakni pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Bentuk dialog semacam ini sekarang kerap berlangsung dalam kerangka kerjasama organisasi-organisasi intemasional, dimana orang-orang Kristen dan para pengikut agama-agama lain bersama-sama menghadapi masalah-masalah dunia (bdk. DM 31). Sejak Konsili Vatikan II, Gereja secara konkret dan resmi terlibat dalam dialog karya. Dua atau tiga sekretariat sekurang-kurangnya yang menangani masalah-masalah dunia, didirikan. Sekretariat-sekretariat itu tidak menggeluti dialog agama-agama, namun demikian pelaksanaan kerjanya meminta kerjasama dengan para penganut agama-agama lain. Dua sekretariat itu ialah The Pontifical Commission for Justice dan Peace (1967) dan Dewan Kapausan "Cor Unum" (1971).
Sekretariat yang pertama bertugas mempromosikan perdamaian intemasional dan pengemban umat manusia yang lebih manusiawi. Sementara Cor Unum memberikan pelayanan kepada dunia, antara lain dengan mempehatikan para pengungsi, korban perang, bencana kelaparan. Dokumen terbaru yang dikeluarkan sekretariat ini ialah Refuges : A Challenge to Solidarity (7 Oktober 1992), sebuah dokumen yang mempromosikan solidaritas seluruh bangsa terhadap kaum pengungsi. Dalam dokumen itu disunggung pula perlunya dialog dan kerjasama antaragama. Kemudia tahun 1982 Paus Yohanes Paulus II mendirikan sebuah komisi tentang kebudayaan, yang bertugas mempromosikan dialog antar kebudayaan. Gereja mendesak umatnya, mulai dari tingkat kelompok yang paling kecil sampai keuskupan, untuk mengusahakan dialog semacam ini, sebuah dialog yang ditumpukan tidak pada agama melainkan pada kerjasama dalam karya-karya.
3.Dialog Pandangan Teologis (untuk Para Ahli).
Sebenarnya dialog teologis tidak hanya dikhususkan untuk para ahli melainkan juga untuk siapa saja yang memilud kemampuan untuk itu. Tetpai karena menyangkut soal-soal teologis yang sering rumit, dialog semacam iiu lebih tepat untuk para ahli. Dalam dialog teologis, orang diajak untuk menggumuli, memperdalam, dan memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masing, serta sekaligus diajak untuk mengetrapkan pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia pada umumnya (DM 33). Karena dialog semacam ini membutuhkan visi yang mantap. Dialog pandangan teologis tidak (dan tidak boleh) berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis agama masing-masing dan penghargaan terhadap nilai-nilai rohani masing-masing. Dialog teologis tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesama rekan dialog. Dialog teologis nieminta keterbukaan dari masing-masing untuk menerima dan mengadakan pembaruan-pembaruan yang makin sesuai dengan nilai-nilai rohaninya.
4. Dialog Pengalaman Keagamaan (Dialog Pengalaman I man).
Dialog pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut pengalaman iman, merupakan dialog tingkat tinggi. Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam (pengalaman mistik, misalnya).
3.Dialog Pandangan Teologis (untuk Para Ahli).
Sebenarnya dialog teologis tidak hanya dikhususkan untuk para ahli melainkan juga untuk siapa saja yang memilud kemampuan untuk itu. Tetpai karena menyangkut soal-soal teologis yang sering rumit, dialog semacam iiu lebih tepat untuk para ahli. Dalam dialog teologis, orang diajak untuk menggumuli, memperdalam, dan memperkaya warisan-warisan keagamaan masing-masing, serta sekaligus diajak untuk mengetrapkan pandangan-pandangan teologis dalam menyikapi persoalan-persoalan yang dihadapi umat manusia pada umumnya (DM 33). Karena dialog semacam ini membutuhkan visi yang mantap. Dialog pandangan teologis tidak (dan tidak boleh) berpretensi apa-apa, kecuali untuk saling memahami pandangan teologis agama masing-masing dan penghargaan terhadap nilai-nilai rohani masing-masing. Dialog teologis tidak boleh dimaksudkan untuk menyerang pandangan sesama rekan dialog. Dialog teologis nieminta keterbukaan dari masing-masing untuk menerima dan mengadakan pembaruan-pembaruan yang makin sesuai dengan nilai-nilai rohaninya.
4. Dialog Pengalaman Keagamaan (Dialog Pengalaman I man).
Dialog pengalaman keagamaan atau lebih baik disebut pengalaman iman, merupakan dialog tingkat tinggi. Dialog pengalaman iman dimaksudkan untuk saling memperkaya dan memajukan penghayatan nilai-nilai tertinggi dan cita-cita rohani masing-masing pribadi. Dalam dialog ini, pribadi-pribadi yang berakar dalam tradisi keagamaan masing-masing berbagi pengalaman doa, kontemplasi, meditasi, bahkan pengalaman iman dalam arti yang lebih mendalam (pengalaman mistik, misalnya).
Dialogue and Mission 35 melihat bahwa perbedaan-perbedaan yang kadang-kadang besar tidak menjadi halangan dalam dialog semacam ini, tentu saja sejauh orang mengembalikan perbedaan-perbedaan itu kepada Tuhan "yang lebih besar dari pertimbangan hati kita" (1 Yoh 3:20). Dari sebab itu, dialog-pengalaman keagamaan sangat mengandaikan iman yang mantap dan mendalam. Dalam banyak hal, dialog iman merupakan ujian kesabaran yang meminta ketabahan panjang. Kristus mengundang kita untuk masuk dalam dialog iman ini dan kepada kita Dia berkata, "Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan" (Yoh 10:10).
0 comments:
Post a Comment