Sistim Anggaran Belanja
Sistim anggaran belanja pemerintah di masa periode awal Islam ditentukan oleh jumlah pendapatan yang tersedia. Berdasar jumlah pendapatan negara itu ditentuk anggaran pengeluaran. Kesimpulan lain dari pola kebijakan anggaran belanja di era wal Islam, disebutkan M.A. Manan, ”tidak berorientasi pada pertumbuhan ekonomi”. Kesimpulan kedua ini hemat penulis belumlah final, terbuka lebar untuk diperdebatkan. Mengingat terminologi yang dipergunakan al-Qur’an maupun yang ditunjukkan as-Sunnah bahkan realitas sejarah terutama di masa kekhalifahan Umar membuktikan anggaran belanja pemerintah tidak hanya habis untuk sekedar menutupi kebutuhan ekonomi masyarakat tetapi justru memperluas akses ekonomi untuk seluruh lapisan masyarakat dan mendorong pertumbuhan investasi. Sekedar menunjuk bukti sejarah, adalah kebijakan Khalifah umar bin Khathab yang memerintah Amr Bina Ash, selaku Gubernur Mesir, untuk membelanjakan sepertiga aktiva baitul maal untuk pembangunan infra struktur, seperti pembangunan kanal antara Kairo dan dan Pelabuhan Suez dan membangun dua pusat bisnis internasional di kota Kufah dan Basrah dengan tujuan memperlancar aktivitas perdagangan internasional.
Permasalahan utama yang perlu mendapat porsi pembahasan yang memadai, adalah menimbang perkembangan sosial ekonomi politik yang telah sangat berbeda maka sistim anggaran yang bagaimana yang sesuai dengan Islam ?
1). Alternatif Sistim Anggaran Belanja Negara di Era Modern
Ekonomi modern memperkenalkan empat model anggaran belanja negara. Yaitu : pertama, anggaran belanja berimbang dimana penerimaan dan belanja negara adalah sama. Kedua, anggaran belanja surplus, yaitu penerimaan lebih besar daripada pengeluaran. Ketiga, anggaran belanja defisit, yaitu anggaran yang menunjukkan lebih besar pasak daripada tiang. Keempat, perkembangan terakhir dari sistim anggaran yang ditawarkan oleh para ahli ekonomi untuk mengefektifkan sistim anggaran, adalah anggaran berdar program dan prestasi kerja.
Sistim anggaran berimbang oleh banyak ekonom telah dipandang ortodoks oleh karenanya kecenderungan setelah alternatif kebijakan anggaran berimbang adalah kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Realitas sejarah menunjukkan pada kita, Rasulullah hanya sekali menerapkan anggaran defisit, yaitu ketika jatuhnya kota Mekah. Hutang negara segera dibayar sebelum genap satu tahun, yaitu setelah perang Hunain. Selanjutnya pemerintahan Islam mengambil menerapkan kebijakan anggaran surplus. Tetapi, kita tidak dapat mengambil kesimpulan begitu saja bahwa anggaran defisit tidak bisa atau sebaiknya dihindari untuk diterapkan dalam suatu negara Islam. Realitas yang kita hadapi sudah sedemikian berubah dengan masa Islam awal, mayoritas negeri Islam memiliki sumber dana domestik yang kurang dari memadai untuk menutupi kebutuhan pembangunan ekonominya. Kebutuhan pembiayaan belanja negara yang lebih besar dari pos penerimaannya, sementara pemerintah enggan mengambil kebijakan fiskal dengan menaikan pajak memaksa pembiayaan belanja negara tersebut didanai dari pembiayaan defisit. Solusi inipun bukan tidak mengandung masalah, karena illegalitas meminjam dengan bunga.
Realitas kemampuan ekonomi mayoritas negara Islam yang kurang mampu membiaya anggaran belanjanya, adalah tidak mungkin menerapkan anggaran belanja surplus, seperti yang dianjurkan dalam beberapa literatur.
Dilematika persoalan pilihan alternatif sistim anggaran inilah yang akan dikemukan dalam bagian akhir makalah ini.
2). Dimensi Kemaslahatan Ummat dalam Pilihan Sistim Anggaran Belanja
Sistim anggaran belanja yang efektif tidak sekedar fokus pada pengeluaran pembiayaan tetapi terselenggara dan tercapainya target-target yang direncanakan.
Kaidah-kaidah Islam yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi publik bertujuan mengendalikan pengelolaan anggaran secara efektif dan efisien. Kaidah Islam dalam bidang mu’malah, satu sisi terumuskan secara mujmal dan bersifat prinsip, sisi lain bersifat teknis yang bersifat lentur (flesible) sehingga dimungkinkan penggunaan ijtihad.
b) Kaidah Menentukan Kebijakan Publik
Secara umum, Islam mengemukakan kaidah dalam menentukan kebijakan ekonomi publik, sebagai berikut :
· Pembelanjaan anggaran berorientasi pada kemaslahatan publik.
· Alokasi anggaran belanja fokus pada skala prioritas dan pada hal yang mubah dan tidak ada alasan rasional apapun yang dapat diterima untuk pembiayaan yang diharamkan Allah SWT.
· Menghindari masyaqoh (kesulitan) dan mudharat lebih utama daripada melakukan perbaikan.
· Untuk menghindari kerugian, pengorbanan atau mudharat bagi publik maka kepentingan individu atau sekelompok orang dapat dikorbankan.
· Yang mendapat manfaat harus bersedia menanggung beban dan resiko (algiurmu bil gunmi).
· Bila untuk menegakkan sesuatu yang wajib, dipersyaratkan oleh sesuatu yang lain, yang tanpanya kewajiban itu tidak dapat ditunaikan maka sesuatu itu menjadi wajib”.
Berdasar orientasi kemaslahatan publik maka anggaran defisit untuk konteks negara memiliki pos penerimaan yang lebih sedikit dari pos pengeluarannya, kebijakan anggaran defisit dapat menemukan alasan yang cukup kuat, yaitu bila ternyata dengan pembiayaan defisit itu memacu pertumbuhan ekonomi secara merata, meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin dan menciptakan peluang kerja yang lebih luas. Penerapan kebijakan anggaran defisit ini harus diperhitungkan dengan cermat, jangan sampai pembiayaan belanja negara itu hanya akan meningkatkan GNP tetapi tidak berdampak positif secara signifikan terhadap pemerataan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin, bahkan sebaliknya kebijakan pembiayaan belanja itu hanya akan menguntungkan kelompok masyarakat aghniya.
Pembiayaan defisit dapat bersumber pada investasi bagi hasil dengan skema mudharabah, musyarakah, murabaha, atau skema lainnya yang legalitasnya tidak berbenturan dengan kaidah pokok. Maka, dapat saja pemerintah mengundang investasi asing untuk menggenapi defisit anggaran sepanjang berdampak positif dan dominan bagi kemaslahatan publik.
Sesungguhnya sektor hukum mu’amalah memiliki daya lentur yang membuka peluang besar untuk berijtihad, seperti yang telah dilakukan para Khulafaur Rasyidin dan para ulama Islam di abad pertengahan. Zakat, misalnya merupakan sumber pendapatan yang sangat luar biasa bagi negara. Apabila negara dapat mengelola zakat ini sebagai bagian dari kebijakan strategis negara, tidak lagi membiarkan pengelolaan zakat oleh individu-individu atau institusi masyarakat secara terpisah dengan kebutuhan anggaran negara maka sebagian defisit anggaran negara dapat ditutupi oleh sektor pendanaan yang tiada pernah habis ini oleh karena sifatnya yang diwajibkan oleh syari’ah. Besaran zakat yang tidak pernah disebutkan secara pasti dalam al-Qur’an dalam keadaan tertentu dapat saja dikenakan lebih besar terhadap kaum aghniya yang selama ini diuntungkan lebih besar dari berbagai kebijakan negara.
Sektor pendapatan sumber alam yang selama ini dikelola pihak asing dan lebih menguntungkan investor asing, harus dikaji ulang dengan perhitungan dan kebijakan sosial politik ekonomi yang lebih memihak pada kemaslahatan ummat. Kekayaan alam di negara-negara Islam tersedot habis ke negara-negara maju yang memiliki kemampuan keahlian dan teknologi pengelolaan sumber daya alam. Realitas ini menunjukkan untuk mengambil kebijakan yang sinkron antara kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang, antara kebutuhan fiansial jangka pendek dan pemeliharaan serta pemanfaatan kekayaan alam untuk masa depan generasi bangsa.
Dalam kaitan itu, kebijakan yang cenderung pada peningkatan kualitas sumber daya manusia harus mendapat skala prioritas tinggi disamping pembiayaan kebutuhan jangka pendek karena memberikan efek multiflier yang sangat signifikan. Keunggulan negara-negara maju oleh karena keunggulan sumber daya manusia dan tanda-tanda kehancuran negara-negara maju juga oleh karena kehancuran akhlak (sosial budaya) masyarakatnya. Realitas menunjukkan ketersediaan kekayaan alam ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat karena tanpa kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya.
Realitas sejarah juga menunjukkan sumber-sumber pendapatan negara Islam memiliki variasi yang lebih banyak dan memberikan kontribusi yang tetap dan sisi pembelanjaannya menciptakan kondisi sosial politik dan ekonomi yang stabil yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kenyataan ini sesungguhnya merupakan manifestasi dari totalitas komitmen generasi awal Islam terhadap agamanya sendiri, ad-Diin al-Islam yang kemudian mewujud dalam bentuk profesionalisme (akhlak) bekerja serta keberanian untuk berpihak pada kemaslahatan ummat ketimbang orientasi kekuasaan dan kenikmatan kontemporer yang disuguhkan dunia.
Sedangkan sistim anggaran berbasis program dan prestasi, yang dalam belakangan terakhir ini dipublikasikan dapat lebih efektif dan efisien untuk negera-negara berkembang tidaklah cocok, karena persyaratan penerapan kebijakan anggaran ini adalah kelangkapan dan akurasi data untuk mengukur satuan biaya untuk setiap rencana program. Kemampuan manajemen dan administrasi pemerintahan pada umumnya negara Islam masih sangat minim.
c) Pos Alokasi Anggaran Belanja
Alokasi anggaran belanja negara tidak terlepas dari tanggungjawab negara yang telah dibahas pada bab awal dalam tulisan ini. Tanggungjawab negara merupakan refleksi dari persoalan sosial ekonomi politik yang berkembang dan skala dharuriyahnya. Berdasar analisis sejarah dan informasi literatur tentang distribusi aset negara yang dilakukan baitul maal, maka anggaran belanja dalam negara Islam, dialokasikan sebagai berikut :
· Pemenuhan Kebutuhan masyarakat miskin. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, anggaran belanja diambil dari mata anggaran zakat, ghanimah dan fa’i.
· Belanja Pertahanan dan Pasukan Militer. Anggaran dan termasuk pula membayar jaminan pensiun pasukan beserta keluarga yang ditinggalkan. Pembiayaannya berasal dari pos ghanimah, fa’i dan zakat.
· Pelayanan Administrasi. Semua operasionalisasi negara untuk pelayanan publik dengan kompleksitas administrasinya dan pembayaran gaji para aparatur negara, seperti hakim, guru, gubernur, dan pejabat negara lainnya diambil dari pos fa’i.
· Jaminan Keamanan Sosial (social security). jaminan sosial merupakan pemberian jaminan untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal secara kultural yang layak. Jaminan sosial yang diberikan baitul maal ditujukan kepada para fakir dan miskin, anak-anak yatim, para janda, para lansia, orang cacat bahkan kepada non muslim yang tidak mampu, lemah, cacat atau lanjut usia.
· Pensiunan dan bantuan keuangan untuk para pejuang dan warga senior yang banyak berjasa pada Islam.
· Pendidikan. Setiap program pencerdasan bangsa dan penyebaran dakwah Islam ke berbagai wilayah dibiayai oleh keuangan publik (baitul maal).
· Proyek-proyek pembangunan seperti pra sarana dan sarana kepentingan publik : jalan raya, pengairan lahan pertanian, penerangan, infrastruktur transportasi, dan proyek-proyek pembangunan lainnya yang dibutuhkan publik dan mendorong pengembangan kesejahteraan ekonomi sosial maka menjadi sasaran pembiayaan belanja negara.
d) Klasifikasi Alokasi Anggaran Belanja
Secara umum, alokasi anggaran belanja pemerintahan Islam, dapat diklasifikasikan menjadi :
· Belanja kebutuhan rutin operasional pemerintahan, mencakup belanja pemenuhan kebutuhan masyarakat, operasional roda pemerintahan dan jaminan sosial.
· Belanja Umum, mencakup pengadaan fasilitas dan barang publik dan pembangunan infrastruktur sosial lainnya.
· Belanja Proyek peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mekanisme pembiayaannya proyek peningkatan kesejahteraan rakyat ini bisa melalui subsidi atau bantuan langsung.
[1] Op cit, Jusmaliani, hal. 81-174,
Op cit, Dr. sabahuddin Azmi, 180-220
Op cit, MA Manan, 367-396
Op cit, Taqiyuddin an-Nabani, hal. 267-270
0 comments:
Post a Comment