1. Kendala-Kendala Fiqh
Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan haram. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syari’ah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan (Umar Syihab, 1996, pp. 1270).
Sementara itu Majelas Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta (Rifyal Ka’bah, 2001, pp. 63).
Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram (Muhamad Syafi’i Antonio, 1999, pp. 63).
Menurut pengamatan penulis, kontroversial mengenai bunga bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di beberapa negara Islam seperti Mesir, Irak, dan Iran (Omar Abdul Aziz, 1987, pp. 288-296), sehingga untuk menghadapinya perlu menggunakan pendekatan ilmiah dan normatif untuk menyakinkan para ulama yang menghalalkan bunga atas madarat-nya, dengan memberi bukti-bukti empiris mengenai kehancuran yang mengancam perekonomian Negara-negara sedang Berkembang karena praktek bunga yang ditawarkan oleh perbankan konvensional, dan alasan-alasan yang menjadi dasar untuk menghalalkan bunga tidak benar secara empiris.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh perbankan Syari’ah di Indonesia bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan masih terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga, dan kalau kita amati perbankan Syari’ah yang beroperasi di beberapa negara Islam dan non Islam bisa dilihat bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan lebih tinggi dari tingkat suku bunga hingga perbankan Syari’ah menjadi lebih menarik bagi para nasabah non Muslim. Masalah ini bisa menghambat perkembangan perbankan Syari’ah di Indonesia dan membuat nasabah cenderung memilih perbankan konvensional.
2. Problem Hukum
Kendala hukum yang dialami perbankan syariah di Indonesia ialah, Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah.
3. Rendahnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan syari’ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank Syari’ah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar (Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 6).
Kesan umum yang ditangkap oleh masyarakat tentang bank Syari’ah: 1) bank Syari’ah identik dengan bank dengan sistem bagi hasil, 2) Bank Syari’ah adalah bank yang Islami, sebagian masyarakat ada yang menyatakan bahwa bank Syari’ah secara eksklusif hanya khusus untuk umat Islam.
Menurut penulis bahwa kegiatan sosialisasi perbankan Syari’ah amat diperlukan dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perbankan Syari’ah. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para bankir, alim ulama, pemuka masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa mendatang bentuk kegiatan sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan menggunakan berbagai media massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki akses kepada masyarakat luas.
1. Kendala-kendala Operasional
Kurangnya SDM dan Keahlian: kendala di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan Syari’ah antara lain disebabkan oleh karena sistem perbankan Syari’ah masih belum lama dikembangkan di Indonesia. Di samping itu lembaga akademi dan pelatihan di bidang ini masih terbatas, sehingga tenaga terdidik dan pengalaman di bidang perbankan Syari’ah baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral masih terasa kurang. (Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 7)
Menurut penulis, faktor ini yang menyebabkan nasabah perbankan Syari’ah seringkali pindah ke bank lain karena menganggap pelayanan dari pihak perbankan Syari’ah kurang profesional, maka pengembangan SDM bidang perbankan Syari’ah menjadi hal penting karena keberhasilan pengembangan bank Syari’ah pada level Mikro ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan dan ketrampilan pengelola bank. Pengembangan SDM bisa dilakukan melalui kerjasama antara perbankan Syari’ah dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar maupun di Indonesia sendiri.
Keterbatasan Jaringan Kantor Bank Syari’ah: pengembangan jaringan kantor bank Syari’ah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank Syari’ah yang ada juga dapat menghambat perkembangan kerjasama diantara bank Syari’ah. Dalam upaya pengembangan dan perluasan jaringan kantor bank Syari’ah, ada beberapa faktor penting yang diperlukan sebagai dasar pengembangan jaringan. Faktor-faktor tersebut meliputi skala pasar, SDM, sistem dan teknologi, ketimpangan dalam distribusi dana, serta kegiatan ekonomi.
Terjadinya Asimetri Informasi: Asimetri informasi terjadi karena bank Syari’ah kurang transparan dengan nasabahnya karena nasabah perbankan Syari’ah seringkali tidak mengetahui tentang kegiatan investasi yang dijalankan oleh bank serta beberapa resiko yang terdapat dalam kegiatan tersebut, hal ini juga bertentangan dengan kaidah-kaidah fiqh yang mewajibkan untuk memberi informasi lengkap mengenai kegiatan usaha kepada mitra kerja/nasabah (Jamal Atia, 1988, pp. 85).
· Strategi
Untuk menghadapi segala tantangan diatas, perbankan syariah menyusun beberapa strategi, diantaranya:
Sebenarnya masih banyak strategi yang bisa dilakukan, akan tetapi andai saja keenam strategi diatas bisa dijalankan dengan optimal, penulis optimis prospek perkembangan bank syariah di tahun 2009 dan tahun berikutnya akan semakin berkembang pesat.
Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga pendapat yaitu; halal, syubhat, dan haram. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syari’ah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan (Umar Syihab, 1996, pp. 1270).
Sementara itu Majelas Tarjih Muhammadiyah memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta (Rifyal Ka’bah, 2001, pp. 63).
Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram (Muhamad Syafi’i Antonio, 1999, pp. 63).
Menurut pengamatan penulis, kontroversial mengenai bunga bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di beberapa negara Islam seperti Mesir, Irak, dan Iran (Omar Abdul Aziz, 1987, pp. 288-296), sehingga untuk menghadapinya perlu menggunakan pendekatan ilmiah dan normatif untuk menyakinkan para ulama yang menghalalkan bunga atas madarat-nya, dengan memberi bukti-bukti empiris mengenai kehancuran yang mengancam perekonomian Negara-negara sedang Berkembang karena praktek bunga yang ditawarkan oleh perbankan konvensional, dan alasan-alasan yang menjadi dasar untuk menghalalkan bunga tidak benar secara empiris.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh perbankan Syari’ah di Indonesia bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan masih terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat suku bunga, dan kalau kita amati perbankan Syari’ah yang beroperasi di beberapa negara Islam dan non Islam bisa dilihat bahwa tingkat profit dan loss sharing yang ditawarkan lebih tinggi dari tingkat suku bunga hingga perbankan Syari’ah menjadi lebih menarik bagi para nasabah non Muslim. Masalah ini bisa menghambat perkembangan perbankan Syari’ah di Indonesia dan membuat nasabah cenderung memilih perbankan konvensional.
2. Problem Hukum
Kendala hukum yang dialami perbankan syariah di Indonesia ialah, Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah.
3. Rendahnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan syari’ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank Syari’ah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar (Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 6).
Kesan umum yang ditangkap oleh masyarakat tentang bank Syari’ah: 1) bank Syari’ah identik dengan bank dengan sistem bagi hasil, 2) Bank Syari’ah adalah bank yang Islami, sebagian masyarakat ada yang menyatakan bahwa bank Syari’ah secara eksklusif hanya khusus untuk umat Islam.
Menurut penulis bahwa kegiatan sosialisasi perbankan Syari’ah amat diperlukan dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perbankan Syari’ah. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para bankir, alim ulama, pemuka masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa mendatang bentuk kegiatan sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan menggunakan berbagai media massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki akses kepada masyarakat luas.
1. Kendala-kendala Operasional
Kurangnya SDM dan Keahlian: kendala di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan Syari’ah antara lain disebabkan oleh karena sistem perbankan Syari’ah masih belum lama dikembangkan di Indonesia. Di samping itu lembaga akademi dan pelatihan di bidang ini masih terbatas, sehingga tenaga terdidik dan pengalaman di bidang perbankan Syari’ah baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral masih terasa kurang. (Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 7)
Menurut penulis, faktor ini yang menyebabkan nasabah perbankan Syari’ah seringkali pindah ke bank lain karena menganggap pelayanan dari pihak perbankan Syari’ah kurang profesional, maka pengembangan SDM bidang perbankan Syari’ah menjadi hal penting karena keberhasilan pengembangan bank Syari’ah pada level Mikro ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan dan ketrampilan pengelola bank. Pengembangan SDM bisa dilakukan melalui kerjasama antara perbankan Syari’ah dengan lembaga-lembaga pendidikan yang berada di luar maupun di Indonesia sendiri.
Keterbatasan Jaringan Kantor Bank Syari’ah: pengembangan jaringan kantor bank Syari’ah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank Syari’ah yang ada juga dapat menghambat perkembangan kerjasama diantara bank Syari’ah. Dalam upaya pengembangan dan perluasan jaringan kantor bank Syari’ah, ada beberapa faktor penting yang diperlukan sebagai dasar pengembangan jaringan. Faktor-faktor tersebut meliputi skala pasar, SDM, sistem dan teknologi, ketimpangan dalam distribusi dana, serta kegiatan ekonomi.
Terjadinya Asimetri Informasi: Asimetri informasi terjadi karena bank Syari’ah kurang transparan dengan nasabahnya karena nasabah perbankan Syari’ah seringkali tidak mengetahui tentang kegiatan investasi yang dijalankan oleh bank serta beberapa resiko yang terdapat dalam kegiatan tersebut, hal ini juga bertentangan dengan kaidah-kaidah fiqh yang mewajibkan untuk memberi informasi lengkap mengenai kegiatan usaha kepada mitra kerja/nasabah (Jamal Atia, 1988, pp. 85).
· Strategi
Untuk menghadapi segala tantangan diatas, perbankan syariah menyusun beberapa strategi, diantaranya:
- Menetapkan target bisnis syariah tidak hanya terbatas pada masyarakat muslim,tetapi juga masyarakat non-muslim. Hal ini dilakukan supaya potensi pasar yang digarap semakin luas, berkembang lebih cepat, dan memberi manfaat pada lebih banyak orang.
- Tidak hanya terpaku hanya pada pola pikir yang mengedepankan masalah halal haram dan bunga-riba dalam mengenalkan bank syariah kepada masyarakat, tetapi berusaha untuk menonjolkan hal-hal yang lebih universal dan populer di masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian besar dari masyarakat Indonesia bukanlah syariah loyalis, tapi masyarakat rasional yang juga memikirkan untung-rugi jika menabung atau meminjam uang di bank syariah. Bagi masyarakat rasional, yang terpenting adalah imbal hasil yang menarik dan keuntungan-keuntungan lainnya, seperti pelayanan yang memuaskan, teknologi yang canggih, keamanan, jaringan yang luas, dan kemudahan akses.
- Pembuatan iklan dibuat sepopuler mungkin, sehingga bisa dinikmati kalangan luas atau bukan hanya untuk umat Islam yang loyalis. Kalau perlu, istilah-istilah yang berbau bahasa arab, seperti murabahah, mudharabah, dan ijarah diganti dengan bahasa Indonesia seperti jual-beli untuk mengganti murabahah, bagi hasil untuk mudharabah, atau sewa untuk ijarah. Hal ini dikarenakan mayoritas umat muslim Indonesia masih awam dengan istilah-istilah berbahasa arab tersebut sehingga menyulitkan mereka untuk memahaminya.
- Melakukan inovasi dalam mengembangan produk perbankan syariah. Jangan hanya “mensyahadatkan” produk bank konvensional.
- Untuk mematuhi UU Nomor 21 Tahun 2008, dimana ada kewajiban Bank untuk memisah alias spin off Unit Usaha Shariah (USS) menjadi bank umum syariah 15 tahun sejak diberlakukannya UU ini atau bila aset USS sudah mencapai minimal 50% dari total nilai aset bank induk, akan memicu bank-bank memburu bank-bank yang lebih kecil untuk dikonversi menjadi bank syariah.
- Perbankan Syariah harus mampu memenuhi tuntutan nasabah kelas atas dalam hal poduk dan layanan yang prima. Produk semacam ini biasanya disebut dengan istilah seperti wealth management, private banking, atau privillage banking. Nasabah ini harus diperlakukan secara personal dan istimewa. Maksudnya, layanan yang diberikan tidak hanya pada masalah transaksi perbankan saja, tetapi juga dalam masalah nonbank seperti reservasi hotel, pesawat, pengurusan ONH Plus bagi yang ingin naik haji, dan lain-lain. Layanan seperti ini sangat layak untuk dikembangkan karena banyak kalangan atas yang pemahaman agamanya baik, tetapi masih berhubungan dengan bank konvensional lantaran pelayanannya dinilai lebih baik. Mereka bertransaksi dengan perbankan konvensional tanpa mengambil bunga. Yang terpenting bagi mereka adalah mendapat pelayanan prima dan bersifat pribadi.
- Mengusulkan kepada legislatif untuk membuat kompilasi hukum acara bisnis syariah. Hukum bisnis yang ada sekarang berasal dari hukum dagang Belanda. Hukum ini dibutuhkan untuk mengatasi perselisihan usaha antar lembaga ekonomi syariah terutama perbankan. Selain itu, hukum ini juga diperlukan untuk mengatur berbagai hal termasuk dalam hal kepemilikan dan jual beli. Hukum ini nantinya bisa diatur oleh suatu lembaga peradilan, misalnya peradilan agama. Lembaga ini diperluas perannya untuk mengurusi hukum perbankan dan bisnis syariah. Meskipun demikian, ada suatu kendala dalam penyusunan hukum ini, yaitu sifat hukum fikih yang melandasi praktik bisnis syariah yang bersifat tidak pasti. Ada banyak penafsiran sehingga dibutuhkan banyak masukan dari berbagai ahli ekonomi syariah. Oleh karena itu, perlu dibentuk forum hukum bisnis syariah yang terdiri dari berbagai ahli fikih dan bisnis syariah. Tujuan semua ini adalah supaya hukum fikih dapat dipositifkan di berbagai bidang keuangan syariah terutama perbankan syariah
Sebenarnya masih banyak strategi yang bisa dilakukan, akan tetapi andai saja keenam strategi diatas bisa dijalankan dengan optimal, penulis optimis prospek perkembangan bank syariah di tahun 2009 dan tahun berikutnya akan semakin berkembang pesat.
0 comments:
Post a Comment