Globalisasi
Globalisasi
membangun citra yang kita percayai kebenarannya, yang berbeda dengan
citra-citra sebelumnya. Walaupun citra ini bukan merupakan realita, tetapi
karena kita percayai kebenarannya, sangat menentukan prilaku manusia. Pengaruh
yang sangat kuat dari globalisasi ini adalah melembaganya citra baru, yaitu
perdagangan bebas akan memberikan kesejahteraan antarbangsa yang makin
konvergen dan meningkat. Dunia dengan perdagangan bebas dalam arti kata
seluas-luasnya, yaitu dunia tanpa batas. Pembatas yang kita miliki adalah
terutama hanyalah kemampuan kita bersaing baik didalam negeri maupun di tingkat
internasional. Pasar global harus diartikan bahwa tidak ada lagi perbedaan
antara pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Dunia hanya memiliki satu
pasar, yaitu pasar global.
Citra budaya
proteksi, yang dulu pernah menjadi argumen yang benar untuk meningkatkan
kemampuan ekonomi nasional, sekarang sudah digeser dengan citra budaya baru,
yaitu meningkatkan kapabilitas sumberdaya manusia dan iptek bangsa. Globalisasi
akan menjadi “milik kita” jika kita berhasil membangun budaya bangsa yang
bertumpukan pada peningkatan kemampuan bersaing, dan bukan pada ketergantungan
atau proteksi.
Tanpa kita
rencanakan dan kita sadari, proses globalisasi ini terus berjalan dengan deras.
Citra baru sudah menjadi realita dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam
kebiasaan makan dan minum kita misalnya, hamburger – sosis – kapucino – dll,
sudah dinikmati sampai dikota-kota kecil. Blue Jeans, T-Shirt, baju loreng,
bermacam warna rambut, laki-laki pakai anting, bibir diberi anting, pusar bukan
lagi bagian badan yang harus ditutupi, handphone dll, sudah menjadi perangkat
“pakaian” para remaja kita. Disisi lain hiburan seperti karoke, play station
sudah mewabah. Dan banyak lagi contoh kebiasaan hidup masyarakat kita yang
tidak perlu saya jelaskan disini, yang membuat kita “risi”.
Kenyataan
menunjukan bahwa globalisasi ini adalah arus perubahan budaya. Bagaimana kita
harus menyikapinya?
Peranan WTO
WTO (World Trade
Organisation) dibentuk untuk mengelola perdagangan dunia yang telah disepakati
dan tertuang dalam GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). GATT yang
tadinya hanya ditujukan untuk mengatur perdagangan, telah memasuki
bidang-bidang lain seperti HAKI, investasi, perburuhan sampai kepada masalah
pengadaan pemerintah. WTO dengan berbagai komisi dan badan didalamnya sangat
didominasi oleh negara-negara maju (G-8). WTO adalah birokrasi dengan pemihakan
kepada negara-negara industri. Hegemoni negara-negara maju dalam bidang
teknologi dan industri makin dimantapkan lagi dalam berbagai keputusan di WTO.
Negara maju ingin tetap menjadikan negara-negara berkembang menjadi sumber
untuk mendapatkan bahan baku, khususnya untuk industri agro, kehutanan dan
hasil tambang, serta menjadi pasar hasil industrinya. Pengembangan industri
hilir agro, kehutanan, perikanan dan hasil tambang akan terus dihambat masuk
kepasar negara industri maju, antara lain dengan berbagai tariff/bea masuk
untuk produk-produk jadi atau setengan jadi.
Sedang disisi
lain masuknya bahan baku kenegara-negara industri maju dipermudah. Sehingga
globalisasi sebagai citra baru untuk dunia dengan kesejahteraan yang makin
meningkat dengan perdagangan bebas telah dinodai dan menimbulkan reaksi keras
dan tantangan dari negara-negara berkembang. Berbagai upaya melalui diplomasi
di PBB telah dilakukan. Adanya Kelompok 77, G-21, dan akhir2 ini dengan gerakan
aktualisasi gerakan Asia - Afrika, merupakan pertanda makin meningkatnya
ketidak puasan dengan perkembangan globalisasi.
Kedudukan Direktur Jenderal WTO selalu menjadi perebutan antara
negara-negara maju. Persaingan yang tajam pada tahun 1999 mengharuskan
terjadinya kompromi dimana Direktur jenderal WTO untuk 3 tahun pertama dipegang
oleh Mike Moore dari Selandia Baru, dan 3 tahun berikutnya sampai dengan 2005
oleh Dr. Supachai Panitchpakdi dari Thailand. Dengan habis waktunyan jabatan
Dirjen WTO, minggu yang lalu telah ditetapkan bahwa Pascal Lammy dari Perancis
menjadi Dirjen WTO baru. Pascal Lammy sebelumnya menjabat Trade Commissioner di
EU (setara Menteri Perdagangan), yang tangguh dan kaku mempertahankan posisi
EU. Dengan dipilihnya Pascal Lammy menggantikan Supachai, ada kekhawatiran akan
makin terpojoknya posisi negara-negara berkembang.
Ketidak puasan
akan peran WTO dan proses globalisasi ini juga telah disuarakan oleh
tokoh-tokoh negara maju (Joseph Stiglitz, George Monbiot, Alice Amsden, dll).
Yang dihadapi
dan menjadi masalah negara-negara berkembang dan industri baru, bukan hanya
perdagangan bebas. Negara-negara ini menghadapi berbagai masalah dinegaranya
masing-masing, yang pada dasarnya disebabkan oleh kemiskinan dan
ketertinggalan, pendidikan, ketrampilan, penguasaan teknologi, dan lain-lain.
Saya berpendapat bahwa pengaturan perdagangan dunia, tidak bisa hanya
diserahkan kepada WTO saja. Badan lain yang bisa berperan efektif adalah UNCTAD
(UN Conference on Trade and Development). Selama ini 1995 - 2004 Sekretaris
Jenderal UNCTAD dijabat oleh Rubens rUcopero dari Brasil, yang telah memimpin
UNCTAD dengan baik, tetapi masih terbatas dalam pengarunya menghadapi WTO. Saya
gembira bahwa Dr. Supachai minggu lalu telah ditetapkan sebagai Sekretaris Jenderal
UNCTAD yang baru. Ada harapan UNCTAD akan lebih berperan dalam menanggulangi
jurang antara negara maju dan negara berkembang.
Bagi bangsa dan
rakyat kita, ditambah lagi dengan akibat krisis yang masih berjalan dan sangat
membebani masyarakat.
Krisis dan masyarakat
Krisis keuangan
seperti yang terjadi pada tahun 1997 dan kemudian melanda hampir semua negara “The
rest” di Asia telah ditangani secara khusus oleh masing-masing negara dan
pemerintahnya. Apalagi dinegara kita dimana krisis ekonomi telah berubah
menjadi krisis multidimensi, atau lebih drastis lagi bisa dikatakan sebagai
krisis budaya, memerlukan penanganan yang kontinu dan terkoordinasikan, serta
dikelola secara terpadu. Seperti diuraikan diatas, krisis yang dihadapi, telah
menimbulkan dis-equilibrium yang perlu penanganannya melalui upaya-upaya khusus
“shock adjustment”. Pelaksanaannya harus dilakukan secara bertahap dan
konvergen, sehingga tidak terjadi dis-equllibrium. Tantangan dalam masalah
perbankan dan ekonomi, telah mulai menuju keseimbangan baru, walaupun dengan
pengorbanan menurunnya PDB dan meningkatnya pengangguran. Indonesia dihadapkan
kepada penyelesaian perbankan yang akhirnya membenbani masyarakat melalui
alokasi APBN. Kritik terhadap kebijakan lama dan bermunculannya pemikiran-pemikiran
baru dalam perekonomian, telah menimbulkan perubahan paradigma.
Dibandingkan
dengan negara-negara lain, pergeseran paradigma dalam politik, telah membawa
kita kedalam alam demokrasi yang baru. Pergantian pemerintahan dirasa terlalu
cepat, yang mengakibatkan setiap saat diperlukan keseimbangan baru. Kita
kehilangan leadership atau kepemimpinan untuk jangka panjang yang sangat
diperlukan dalam mengatasi shock yang disebabkan oleh krisis. Kita memerlukan
seorang pemimpin untuk kurun waktu yang cukup panjang, untuk bisa mencapai
keseimbangan baru dalam kehidupan masyarakat. Kita belum bisa mengandalkan
kepada konsistensi ideologi (kalau masih mempunyai) dari partai politik.
Dalam menghadapi
krisis kita dihadapkan pada pemilihan kebijakan. Setiap kebijakan selalu
membawa akibat pro dan kontra. Yang penting adalah pembentukan trust, sehingga
kebijakan yang ditetapkan dipercayai dan diyakini akan menguntungkan bagi
masyarakat.
Produktivitas
Seperti saya
jelaskan didepan, pembatas kita dalam perdagangan bebas dunia ini, ialah
kemampuan kita untuk bersaing. Salah satu faktor yang mempengaruhi daya saing
kita adalah produktivitas dan efisiensi. Kita ketahui bawa tingkat
produktivitas bangsa kita sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara
pesaing kita. Rendahnya produktivitas menyebabkan kemapuan memproduksi
barang yang sama kita memerlukan dana
dan waktu yang lebih banyak. Atau mahal.
Peningkatan
produktivitas dan efisiensi merupakan sumber pertumbuhan utama untuk mewujudkan
pembangunan yang berkelanjutan dan meningkatkan daya saing kita. Dan sebaliknya
pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan juga merupakan unsur penting dalam
menjaga kesinambungan peningkatan produktivitas jangka panjang.
Secara makro sumber pertumbuhan dapat
dikelompokan dalam
Peningkatan
stock modal – masih memberikan andil terbesar dalam pertumbuhan ekonomi kita.
Dalam Repelita V, dengan pertumbuhan rata-rata 6,6 persen, andil peningkatan stock
modal mencapai 58,1%. Sedang didalam Repelita VI, dengan pertumbuhan 6,2
persen, andil stock modal 52,6%.
Jumlah tenaga
kerja - Dalam Repelita V tenaga kerja meningkat 1,7%, yang berarti mempunyai
andil sebesar 25%. Dan pada Repelita VI turun menjadi 16%. Peningkatan produktivitas – peningkatan
produktivitas ini mempunyai arti yang sangat penting, karena bukan bersumber
kepada jumlah input atau sumberdaya, melainkan disebabkan oleh peningkatan
kualitasnya. Dalam Repelita V, peningkatan produktivitas 1,1% andilnya terhadap
pertumbuhan 17%. Dan dalam Repelita VI, dengan tingkat pertumbuhan 1,4%
andilnya terhadap pertumbuhan menjadi 21,8%.
Jadi peran
produktivitas dalam pertumbuhan dan daya saing ini sangat besar, pertanyaannya
bagaimana kita dapat meningkatkan produktivitas ini.Produktivitas adalah produk
budaya yang rumit dan tidak mekanistik dan linear. Dimilikinya teknologi,
dikuasainya teknik dan ketrampilan, tidak akan ada gunanya kalau semuanya tidak
terinternalisasi dalam kehidupan kita.
Sering
terjadinya konflik dalam berbagai tingkatan dan daerah, melemahkan secara
signifikan produktivitas nasional kita sebagai hilangnya atau berkurangnya
saling mempercayai mengurangi kekuatan modal masyarakat kita. Yang pada
akhirnya menurunkan total productivity performance kita.
0 comments:
Post a Comment