Selain
produktivitas, sisi lain yang penting untuk meningktakan daya saing adalah
peningkatan efisiensi. Dalam hal ini adalah dalah perdagangan komoditi agro. Setiap
tahun dan setiap musim kita merasakan masalah yang dihadapi oleh petani kita
waktu panen tiba. Bukannya kegembiraan yang menyongsong mereka, seperti harapan
waktu mulai menanam, tetapi kepediha karena harga komoditi hasil panennya
anjlok dipasar.
Disisi lain
mereka membutuhkan uang untuk menutupi modal dan pinjaman yang telah
dikeluarkan sebelumnya serta untuk meneruskan kehidupannya. Mereka terpaksa
menjual hasil panennya dalam tekanan harga oleh pedagang, demi untuk
melanjutkan kelangsungan hidupnya. Para tokoh dan pimpinan organisasi atau
perkumpulan petani, dari tahun ketahun terus berteriak, memperjuangkan
kehidupan yang lebih baik bagi petani kita. Berbagai macam proteksi melalui
kebijakan subsidi, monopoli, perdagangan bebas, pembatasan impor dan pengenaan
bea masuk saling bergantian diberlakukan, dengan dalih membela petani.
Sebenarnya yang ingin dicapai adalah keseimbangan antara kepentingan konsumen
dan produsen. Berbagai upaya dengan dalih melindungi dan membela petani lebih
dinikmati oleh petani “besar dan berdasi”, pengepul dan pedagang. Kenyataannya
petani terus berteriak, tetapi disisi lain juga terus menanam. Rupanya tidak
ada pilihan lain selain hidup terus sebagai petani.
Komoditi
pertanian memang mempunyai ciri yang khas, selain berumur terbatas juga hanya
dipanen pada waktu-waktu tertentu saja. Sehingga akibatnya fluktuasi harga
sangat besar, dan ditambah oleh pengaruh harga dipasar internasional. Sebab itu
komoditi pertanian ini mempunyai sistem dan mekanisme perdagangan yang spesifik tersendiri.
Sayangnya sampai hari ini kita belum dapat mengembangkan sistem dan
mekanismenya secara meluas dan baik.
Kita belum
mengenal secara luas sistem lelang untuk menentukan harga secara transparan.
Pasar induk masih langka dan transaksinyapun lebih berorientasi sebagai
pedagang eceran, malah terkesan kumuh. Transaksi lebih berbentuk spot, belum
ada transaksi yang bersifat forward. Menurunnya harga komoditi pertanian
sewaktu panen masih tetap menjadi masalah kita, malah terasa seolah-olah kita
tidak berdaya menghadapinya.
Teriakan yang
terus disuarakan petani dan berbagai pengaturan yang diterapkan belum dapat
membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi petani. Saya menganggap sistim dan
mekanisme perdagangan komoditi pertanianlah yang harus dibenahi dan dibentuk.
Pada tahun 1998, Departemen Perindustrian dan Perdagangan telah mengambil
inisiatif dengan beberapa langkah
seperti pendirian Bursa Berjangka Komoditi, dukungan dan rencana didirikannya
Pasar Lelang Lokal dam Regional. Kajian dan pemikiran diterapkannya sistim Resi
Gudang (Warehouse Receipt System) telah dimulai, beberapa percontohan telah
dilakukan dibeberapa daerah. Ketiga komponen ini harus bisa berjalan bersamaan.
Pembentukan harga bisa dilakukan secara transparan, petani mendapat jaminan
harga sebelum panen (bukan ijon) dan petani bisa mendapatkan dana tanpa menjual
hasil panennya sewaktu harga rendah.
Bursa Berjangka
Komoditi yang berdiri sejak tahun 1999, belum bisa berfungsi dengan baik, atau
samasekali belum berfungsi seperti yang kita harapkan. Hal ini antara lain
disebabkan karena kedua komponen lainnya yaitu Pasar Lelang dan Resi Gudang
belum berjalan. Pendirian Pasar Lelang
harus menjadi komitmen pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Khususnya
komitmen pemerintah daerah. Seharusnya merupakan bagian dari pembangunan
fasilitas umum untuk mendukung perekonomian yang berbasis pertanian. Dalam
beberapa tahun ini perkembangan pasar lelang di tanah air sudah cukup
menggembirakan. Sudah 11 (sebelas) kota memiliki pasar lelang forward. Memang
frekwensinya masih bervariasi dari 1 kali sampai 24 kali dalam sebulan.
Proyek Rintisan
Resi Gudang sudah diluncurkan di Lampung untuk komoditi kopi dan lada, dan di
Makasar untuk komoditi cokelat. Proyek Rintisan ini didukung oleh PT BGR - BUMN
pergudangan sebagai penyedia tempat dan pengelola, PT Kliring Indonesia sebagai
penjamin dan Bank Niaga sebagai bank pelaksana. Walaupun didunia perdagangan
komoditi pertanian sistem resi gudang ini sudah merupakan sesuatu yang biasa.
Resi gudang pada
dasarnya adalah satu cara bagaimana komoditi bisa dijadikan kolateral. Petani
ataupun pemilik komoditi tidak perlu menjual komoditinya sewaktu harga rendah, tetapi
masih dapat mendapatkan dana dari perbankan untuk memulai kegiatannya lagi.
Yang menjadi penting disini adalah begaimana perbankan dapat mempercayaai nilai
komoditi yang diagunkan. Bagaimana kwalitas komoditi tersebut tidak menurun dan
untuk jangka waktu tertentu.
Bagaimana kalau
pemilik tidak dapat menualnya. Hal inilah yang merupakan tugas pengelola gudang
untuk dapat memberikan jaminan kepada bank. Yang sering mengganjal dan
kelihatan enggan untuk ikut menyelesaikan masalah ini adalah justru perbankan.
Perbankan adalah salah satu mata rantai yang penting dalam perekonomian kita.
Dan sistem Resi Gudang tidak kalah pentingnya dari mata rantai lainnya. Resi
Gudang mempunyai juga fungsi mengamankan para petani kita. Peraturan dibuat untuk melancarkan apa yang
ingin kita jalankan. Janganlah peraturan menjadi ganjalan untuk mencapai
tujuan. Komitmen perbankan kita perlukan untuk mendukung sistem perdangan
komoditi pertanian. Bursa Berjangka Komoditi, Pasar Lelang dan Resi Gudang
harus berjalan bersamaan. Tetapi kita membutuhkan dukungan perbankan.
Budaya
Interaksi antara
bangsa dalam era globalisasi ini makin meningkat. Globalisasi perdagangan
menjadikan interaksi antara bangsa bukan hanya sebagai persahabatan saja,
tetapi sudah merupakan interaksi yang diliputi oleh persaingan, negosiasi,
untuk mencari keuntungan. Didalam negeri kita sendiri dalam perdagangan dan
peersaingan usaha, masing-masing suku mempunyai budaya yang berbeda dan
penempatan nilai-nilai values yang berbeda juga (sayang sekali saya belum
menemukan buku yang membahas masalah cross cultural ini). Adanya perusahaan
multinasional, penanaman modal asing, dan pemilikan saham oleh perusahaan
asing, telah menimbulkan terjadinya pertukaran budaya yang intensif. Termasuk
dalam kehidupan diluar jam kerja.
Khususnya dalam
persaingan global perlu kita mengenali budaya dan nilai-nilai yang diyakini
oleh pesaing ataupun partner kita. Farid Elashmawi, dalam bukunya Competing
Globally, Mastering Multicultural Management and Negotiations, telah memberikan
gambaran bagaimana bangsa-bangsa tertentu menempatkan nilai-nilai dalam urutan
yang berbeda.
Dari 20 katagori
nilai-nilai yang diajukan, yaitu Group Harmony, Competition, Seniority,
Cooperation, Privacy, Openness, Equality, Formality, Risk Taking, Reputation,
Freedom, Family Security, Relationship, Self-reliance, Time, Group Consensus,
Authority, Material Possesions, Spiritual Enlightenment, Group Achievment.,
telah dapat disusun urutan seperti dibawah ini.
Bagi para
pengusaha maupun diplomat kita, pengetahuan mengenai nilai-nilai dan kebiasaan
tiap bangsa perlu diketahui dan dikenali secara baik. Apalagi dalam
mengembangkan ekspor yang berubah, dari produk pertanian primer menjadi produk
agro olahan, maka pasarpun akan berubah. Sehingga pengetahuan kita mengenai
berbagai aspek dari budaya pembeli kita menjadi penting. Ekspor merupakan
bagian yang penting dari ekonomi negara kita, mungkin lebih penting dari
pinjaman atau bantuan dari luar negeri.
Jadi dalam
menghadapi persaingan dalam era globalisasi ini ada beberapa hal yang penting
dimengerti. Pertama, pasar dalam negeri adalah bagian dari pasar global yang
harus kita rebut. Kedua, produktivitas perllu mendapat perhatian sebagai faktor
yang penting dalam pertumbuhan. Ketiga, efisiensi yang dikaitkan dengan
pembentukan pasar lelang, resi gudang dan bursa berjangka komoditi, yang
sekaligus menempatkan petani produsen pada posisi yang lebih baik. Kempat,
pengetahuan mengenai budaya dalam masyarakat perdagangan yang menglobal dan
bersifat multicultural.
0 comments:
Post a Comment