Pembubaran Partai Politik

Kebebeasan Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. 

 Yang berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu adalah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan timbulnya gejala dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap berikutnya. 


Penuntutan Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden. 
Perkara penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi UUD 1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidka lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Yang memberhentikan dan kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. 


Sejauh menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR. 

Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab. 


0 comments:

Post a Comment