Sengketa Kewenangan Konstitusional antar Lembaga Negara

Pada umumnya, dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara ini, orang cenderung mendekatinya dari sudut pandang lembaga negaranya. Sudut pandang demikian ini saya namakan sebagai pendekatan subjek atau subjektif. Dari sudut pandang demikian, yang dipersoalkan apa yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar dengan ‘lembaga negara’ dan badan atau institusi apa saja yang dapat disebut sebagai lembaga negara seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, orang seringkali tidak dapat keluar dari paradigma lama ketika UUD 1945 belum diubah, yaitu bahwa pengertian ‘lembaga negara’ hanya dikaitkan dengan pengertian alat-alat perlengkapan negara yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif yang biasa dikenal selama ini dengan istilah lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. 

Oleh karena itu, untuk membantu memperluas cara pandang, dapat dianjurkan untuk menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan objek atau objektif. Yang dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang dipersengketakan, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau disebut sebagai kewenangan konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD kepada organ-organ yang disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam UUD itu, maka Mahkamah Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi memberikan kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara yang bersengketa. 

Dengan cara pandang demikian akan mudah bagi kita memahami lembaga-lembaga apa saja yang disebut dalam UUD dan kewenangan-kewenangan apa saja yang diberikan kepadanya oleh UUD. Jika ternyata ada lembaga yang namanya disebut dalam UUD, tetapi kewenangannya tidak secara eksplisit ditentukan dalam UUD, melainkan hanya dikatakan akan diatur dalam UU, berarti kewenangan lembaga tersebut tidak diberikan oleh UUD, melainkan oleh UU. Bahkan ada pula seperti Komisi Pemilihan Umum, yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tetapi ditulis dengan huruf kecil, sehingga penamaan resminya dan juga rincian kewenangannya diatur dan diberikan oleh UU, bukan oleh UUD. Hal yang sama dengan Bank Indonesia, yang di dalam Pasal 23D tidak ditegaskan namanya, melainkan hanya menyatakan: “Negara memiliki suatu ‘bank central’ yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensiya, diatur dengan undang-undang”. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penentuan nama dan kewenangan bank central itu diatur oleh UU bukan oleh UUD. 

Akan tetapi, sebaliknya, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sama-sama disebut namanya dan pembagian kewenangannya dalam Pasal 30 UUD 1945. Jika dalam pelaksanaannya timbul persengketaan pendapat diantara keduanya, siapakah yang harus memutus? Jawabannya tidak lain adalah Mahkamah Konstitusi yang secara juridis dikonstruksikan sebagai lembaga yang paling tahu maksud UUD menentukan pengaturan tentang pembagian kewenangan di antara keduanya. Meskipun TNI dan POLRI selama ini tidak dipahami sebagai lembaga “tinggi” negara dalam pengertian yang lazim, tetapi keduanya bukanlah lembaga di luar Negara, melainkan adalah “lembaga negara” (state organ) yang kewenangannya ditentukan dalam dan diberikan oleh UUD. 

Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 
Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu (i) pasangan calon presiden/wakil presiden, (ii) partai politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan (iii) perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. 

Yang menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres. 


0 comments:

Post a Comment