Realisme dan liberalisme
sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangan tesis-antitesis
sempurna. Dimensi ontologis kedua perspektif ini nyaris bertolak belakang satu
sama lain, meskipun mungkin pada awal kelahirannya kedua perspektif ini tidak
dimaksudkan untuk saling berlawanan. Thomas Hobbes, sebagai pelopor intelektual
perspektif realisme, menulis di Inggris abad ke-17 yang sedang dilanda perang
saudara. Hobbes, yang terkonstruksi oleh lingkungan yang teringkas sebagai state
of war, pada akhirnya menekankan ke(tidak)amanan, force, dan
keberlangsungan hidup sebagai salah satu derivasi pandangan pesimisnya terhadap
sifat dasar manusia di tengah sistem yang anarkis. Setengah abad berikutnya,
kesengsaraan yang dirasakan Inggris sudah tidak seperti dahulu lagi, sehingga
kondisi anarki tidak terlalu mengancam seperti dahulu, dan John Locke dapat
berpandangan lebih optimis dengan argumennya bahwa walaupun state of nature tidak
memiliki kedaulatan bersama, masyarakat tetap dapat mengembangkan hubungan dan
membuat perjanjian.6 Dapat kita lihat bahwa sejak prekursor awal terbentuknya
kedua perspektif ini sudah sangat berlawanan.
Dalam perkembangannya, kedua
perspektif ini pun bagai air dengan minyak. Dalam tataran asumsi dasar,
realisme menyatakan bahwa manusia tidak selamanya baik, sementara liberalisme
menyatakan bahwa manusia bersifat baik secara inheren. Realisme meyakini bahwa
konflik sangat inheren dalam sifat dasar manusia karena perbedaan kepentingan,
sementara liberalisme meyakini bahwa manusia lebih memilih damai daripada
konflik. Nicollo Machiavelli, merepresentasi kalangan realis, menganjurkan
bahwa politik harus dibedakan secara jelas dari moralitas, dan menekankan
politik di atas moralitas (manifestasi politik imoral). Immanuel Kant,
merepresentasi kalangan liberalis, menekankan moralitas di atas politik.
Realisme menekankan konsepsi kedaulatan nasional, sementara liberalisme
memandangnya sebagai sesuatu yang ambigu dan rapuh.
(Senada dengan kritik liberalisme
ini, kita dapat melihat bahwa realisme, sebaku apapun teori umumnya, tetap saja
dapat dikatakan tidak matang secara konseptual. Hal ini dapat ditinjau dari
tidak adanya suatu formulasi standar serta adanya suatu ambiguitas mengenai
konsep-konsep fundamental dalam perspektif ini, seperti power, balance
of power, dan kepentingan nasional. Kalangan realis memahami sistem dunia
hierarkis berdasarkan kepemilikan sumber-sumber power. Namun, apa yang
dimaksud dengan power ini? Hans J. Morgenthau membedakannya dengan influence
dan force serta membedakan antara usable dengan unusable
power dan legitimate dengan illegitimate power.7 Namun,
perbedaan yang diungkapkannya setipis kertas, sulit untuk akhirnya sampai pada
persetujuan bersama tentang konsepsi power yang standar.)
(Sama seperti istilah balance
of power. Joseph S. Nye mendefinisikannya antara lain sebagai distribusi power,
kebijakan, maupun sistem multipolar.8 Namun, Daniel S. Papp
mengungkapkan bahwa pengertian pasti istilah ini masih dalam perdebatan: dalam
satu kasus, balance of power berarti dua negara memiliki kapabilitas
yang kira-kira seimbang; namun dalam kasus lain, ia justru berarti ada suatu
ketidakseimbangan; dan dalam kasus lain, ia menggambarkan hubungan yang dinamis
dan berubah)
(Serupa dengan konsepsi
kepentingan nasional. Papp mengajukan berbagai pertanyaan yang menunjukkan
ambiguitas konsepsi ini, seperti, Siapa di dalam negara yang mendefinisikan
kepentingan nasional? Apakah kepentingan nasional berubah ketika pemerintahan
bertransisi, baik secara damai atau melalui kudeta? Kelompok mana di dalam
negara yang mendefinisikan negara mana yang merupakan kawan maupun lawan suatu
negara?10 Dapat
kita lihat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Papp memiliki gaung
liberalisme, yang berasumsi bahwa negara adalah aktor yang nonuniter dan
terfragmentasi. Padahal, konsepsi kepentingan nasional merupakan konsepsi tolak
ukur mendasar dalam realisme.)
Menjawab kritik di atas, kalangan
realis balik menyerang liberalisme. Agenda politik internasional liberalisme
yang sangat plural membuyarkan fokus analisis. Unit analisis yang sangat jamak
dalam negara menjadikan kalangan liberalis sulit mengagregasi faktor-faktor
yang berperan dalam mengelaborasi fenomena. Konstelasi pengaruh yang terfragmen
dalam aktor-aktornya membuat proses decision making dalam liberalisme
tidak praktis. Asumsi bahwa negara bukanlah aktor rasional, negara tidak predetermined,
dan variasi pada tujuan membuat fungsi prediksi perspektif ini tidak sepraktis
realisme. Banyaknya varian liberalisme, baik secara filosofis (seperti
pasifisme liberal, imperialism liberal, dan internasionalisme liberal;
liberalisme sosial dan liberalisme kosmopolitan; kosmopolitanisme moral dan
komunitarianisme moral; serta liberalisme restraint dan imposition)
maupun secara epistemologis (liberalisme ideasional, liberalisme komersial, dan
liberalisme republikan) membuat sulit menyintesis suatu analisis bersama antara
seluruh varian tersebut, sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi.
Kalangan
realis menglaim bahwa kalangan liberalis tidak dapat menjelaskan kontinuitas
konflik dan perang yang inheren dalam kehidupan manusia sebagaimana juga dalam
pergaulan internasional antarnegara. Mereka tidak menerima argumentasi
liberalis yang membedakan fenomena-fenomena yang terjadi dalam zone of war dan
yang terjadi dalam zone of peace. Hal ini disebabkan kalangan realis
meyakini pentingnya satu teori umum yang universal, yang dapat menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional, di manapun ia
terjadi. Kalangan liberalis, sebaliknya, menglaim bahwa kalangan realis
cenderung menjustifikasi dan melegitimasi validitas teorinya melalui fenomena
yang terjadi. Menurut mereka, realis akan terus mempertahankan gagasan
ideasionalnya bahwa manusia akan cenderung berkonflik satu sama lain dengan
menyodorkan contoh berbagai peperangan yang terjadi secara kontinu di dunia,
yang bagi liberalis hanyalah satu aspek dalam politik antarnegara. Liberalis
tidak dapat menerima pandangan realis yang abai terhadap berbagai ancaman
nonmiliter dan nontradisional, di mana asumsi liberalis menglaim ekstensivitas
agenda yang dapat menjadi bahasan politik internasional serta tidak ada
dikotomi antara high politics dengan low politics.
0 comments:
Post a Comment