Beberapa teori dalam HI berkonsentrasi
pada aktor dalam sistem internasional, dan hal ini memiliki konsekuensi
terhadap pemikiran yang lebih lanjut. Perbedaan pada actor mana yang lebih
dianggap penting dan konsentrasi pada apa yang menjadi tujuan dari aktor-aktor
ini tentu membuat teori seakan tidak menemui kesepakatan mutlak bahkan bisa
jadi bertantangan satu sama lain.
Realisme misalnya berkonsentrasi pada
Negara sebagai aktor utama dan tujuan dari Negara tak lain ada untuk
mendapatkan ‘power’ yang sebesar-besarnya. Terkait dengan realis para pemikir
neo-realis (atau realisme baru) dan struktural realis, juga masih melihat
Negara sebagai aktor utama dalam HI, meski pemikiran realisme baru ini sudah
mulai menerima adanya aktor lain yang punya peran di pinggiran.
Berbeda dengan perspektif realis yang
percaya bahwa untuk memahami HI, kita harus memahami tingkahlaku Negara,
pemikir pluralis tidak setuju jika aktor signifikan yang utama dalam HI
adalah Negara. Mereka melihat Negara hanyalah salah satu dari banyak aktor yang
sama-sama punya peran penting dalam studi HI. Mereka tidak hanya menekankan pada
pentingnya aktor lain selain Negara seperti MNCs misalnya, mereka juga skeptis terhadap
kekuasaan dan keamanan Negara terlalu dianggap memiliki peran
sentral.
Selain dua pendekatan diatas kita juga
mengenal apa yang disebut dengan pendekatan strukturalis. Strukturalis
menekankan pada hal yang berbeda dari kedua
pemikiran diatas. Dari pada berkonsentrasi pada aktor HI, ilmuwan strukturalis lebih berkonsentrasi pada struktrur dari sebuah sistem. Mereka melihat negara dan aktor lainnya bertindak dalam batasan sistem yang ada dan karenanya mereka tidak memiliki kebebasan yang mutlak dalam bertindak. Oleh karena itu para pembuat keputusan harus berfikir dalam bertindak. Untuk memahami sistem internasional, bagi strukturalis, kira harus berkonsentrasi pada struktur-struktur yang ada bukan pada tingkah laku dan pilihan-pilihan tindakan para aktor tersebut.
pemikiran diatas. Dari pada berkonsentrasi pada aktor HI, ilmuwan strukturalis lebih berkonsentrasi pada struktrur dari sebuah sistem. Mereka melihat negara dan aktor lainnya bertindak dalam batasan sistem yang ada dan karenanya mereka tidak memiliki kebebasan yang mutlak dalam bertindak. Oleh karena itu para pembuat keputusan harus berfikir dalam bertindak. Untuk memahami sistem internasional, bagi strukturalis, kira harus berkonsentrasi pada struktur-struktur yang ada bukan pada tingkah laku dan pilihan-pilihan tindakan para aktor tersebut.
Neorealisme
Sebagai varian
dari realisme, neorealisme seringkali dikenal dengan realisme struktural, yang
dibedakan dengan realisme tradisional. Sebagaimana realisme, neorealisme
menjadikan negara dan perilaku negara fokusnya dan berusaha menjawab pertanyaan
mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan. Semua tradisi realis
berangkat dari filsafat keharusan (the
philosophy of necessity) yakni melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak
terelakkan. Dalam pemikiran realis, baik tradisional maupun struktural,
perilaku negara yang keras merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan
dalam politik internasional, seperti secara jelas diekspresikan oleh
Morgenthau, ,international politics is... struggle for power’ (1985). Dalam
artian filsafat keharusan ini, politik internasional bersifat amoral.
Tetapi,
realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda mengapa
politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan perebutan
kekuasaan. Bagi realis
tradisional, perebutan kekuasaan yang
berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat
manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh antara lain
Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat self-interested dan dalam kondisi state
of nature akan berperang satu sama lain, realis tradisional memproyeksikan negara akan memiliki karakter
yang sama, karena politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari
state of nature dalam arti yang sebenarnya, tidak lagi merupakan kondisi
hipotetis sebagaimana yang digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan.
Bagi realisme
struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan dalam politik
internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari
struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah sistem
yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan
kepentingannya sendiri, yang berarti mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Dalam
sistem yang anarkhi, negara tidak bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan
hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai
sarana terutama (tetapi bukan satu-satunya) militer untuk berperang melawan
negara lain. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan
memperkuat kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan
menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai
dilema keamanan (security dilemma).
Untuk
menekankan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara, neorealis
membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis dengan
politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip
pengorganisasian sistem yang berbeda (the
ordering principle of the system). Dua karakteristik lain yang membentuk
pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam sistem dan distribusi kapasitas
unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam sistem mengacu pada fungsi
yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni negara. Dalam pandangan
neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan
hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi yang sama,
negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana tercermin dalam
distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering berubah.
Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara ‚memiliki kesamaan
tugas, tetapi tidak dalam kemampuan
untuk menjalankannya. Perbedaannya terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi
mereka’ (h. 96).
Beberapa tokoh
utama neorealisme antara lain Kenneth Waltz, Stephen Krasner, Robert Gilpin,
Barry Buzan, Richard Little dan Charles Jones. Diantara tokoh-tokoh ini,
Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan
perkembangan teoretis studi hubungan internasional. Karyanya, Theory of International Politics, bukan
hanya dianggap sebagai karya yang paling komprehensif dan elaboratif yang
menggambarkan pemikiran dan posisi neorealism, tetapi juga merupakan produk
dari upaya yang sangat ambisius untuk menjadikan Hubungan Internasional sebagai
sebuah disiplin yang mapan, yang sederajat dengan disiplin lain.
Theory of Internasional Politics dimaksudkan oleh Waltz untuk memberikan kemampuan
eksplanasi yang sangat tinggi (dalam bentuk hubungan kausalitas antar variabel)
terhadap fenomena-fenomena politik internasional. Kemampuan ini merupakan
kriteria yang sangat penting yang harus dimiliki oleh Hubungan Internasional
sebagai sebuah disiplin, tetapi gagal ditunjukkan oleh realisme. Realisme gagal
menjelaskan mengapa berbagai negara yang
berbeda atau bahkan bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik,
tetap berperilaku sama. Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang
liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan,
membangun kekuatan militer, atau mengembangkan pengaruh (sphere of influence)? Menurut Waltz, kegagalan realisme menjelaskan
kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi
behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan aspek faktor penting yang menjadi
batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku negara. Aspek penting yang
menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran Waltz, terletak pada
kekuatan sistemik, yakni struktur internasional.
Secara
metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam artian
bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit dan
struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku
atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang
membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik
internasional dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam
politik internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh
tuntutan alami yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia)
untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam
prakteknya didefinisikan dengan kekuasaan. Metodologi behaviouris oleh Waltz
dikategorikan sebagai teori yang reduksionis.
Metodologi
strukturalis Waltz bersifat sistemik, yakni menempatkan sistem sebagai unit
analisanya. Karakter sistemik lebih menjanjikan daripada karakter reduksionis
karena mampu menjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang
sangat membatasi dan menentukan perilaku negara.
Ambisi Waltz
untuk menghasilkan sebuah teori Hubungan Internasional yang sederajat dengan
teori dalam disiplin-disiplin yang lebih mapan, menghasilkan reaksi yang sangat
keras dari para ilmuwan Hubungan Internasional. Bahkan, tidak terlalu
berlebihan juga ada kecenderungan untuk melihat perdebatan ketiga dalam
Hubungan Internasional pada dasarnya adalah perdebatan antara Waltz dengan
hampir semua teoritisi lain dengan tradisi pemikiran yang sangat berbeda-beda.
0 comments:
Post a Comment