Masyarakat selaku
konsumen pembeli perumahan tidak dengan begitu saja membeli rumah tanpa
mempunyai pertimbangan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mereka
dalam pengambilan keputusan seperti produk, harga, lokasi, promosi (Kotler
& Amstrong 1997). Selain itu, dalam sebuah proses pengambilan keputusan
pembelian tidak hanya berakhir dengan terjadinya transaksi pembelian, akan
tetapi diikuti pula oleh tahap perilaku purnabeli (post purchase behavior).
Pada tahap ini konsumen akan merasakan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan
tertentu yang akan mempengaruhi perilaku berikutnya. Konsumen yang merasa puas
cenderung akan menyatakan hal-hal yang baik tentang produk dan perusahaan yang
bersangkutan kepada orang lain (Bayus dalam Kotler et al. 1996).
Konsumen perumahan
mewah selain membeli untuk tinggal, mereka juga mengharapkan adanya pencapaian
kepuasan (Property 2000). Oleh karena itu, di dalam memasarkan perumahan mewah,
para pengembang harus mampu menciptakan kepuasan bagi para konsumennya.
Untuk mampu
menciptakan kepuasan konsumen tersebut, para pengembang perlu memiliki suatu
strategi pemasaran yang jitu dalam memasarkan produknya, karena strategi
pemasaran juga merupakan alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai
tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang digunakan untuk
melayani pasar sasaran (Tull & Kahle dalam Tjiptono 1997).
Salah satu bentuk
strategi pemasaran yang mampu mendukung dalam memasarkan perumahan untuk
menciptakan kepuasan konsumen adalah penggunaan marketing mix (bauran
pemasaran) yang dapat meliputi product, price, promotion, dan physical evidence
(Pawitra 1993). Dengan demikian, faktor yang ada dalam bauran pemasaran
merupakan variabel-variabel yang diharapkan mampu menciptakan kepuasan
konsumen, atau dengan kata lain variabel-variabel tersebut akan mempengaruhi
kepuasan konsumen dalam membeli suatu produk.
Pembangunan perumahan
untuk kelompok masyarakat menengah ke atas cenderung dilakukan oleh para
pengembang swasta, dimana mereka lebih menekankan pada profit orientied. Untuk
mencapai tujuan tersebut, penekanan pada daya tarik bentuk rumah yang mereka
bangun lebih diutamakan. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan para
konsultan pembangunan perumahan, sehingga perumahan yang mereka bangun mampu
menghasilkan bentuk yang menarik konsumen untuk membelinya. Sedangkan beberapa
hal seperti konstruksi, sarana jalan, saluran, dan fasilitas-fasilitas umum
yang seharusnya ada dalam kompleks perumahan yang mereka bangun, cenderung
diabaikan. Dengan demikian, ketidakpuasan konsumen mungkin akan muncul setelah
membeli rumah yang dipasarkan oleh para pengembang.
Bertitik tolak
pada paparan yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pola pemikiran yang
berkembang dalam pembelian rumah di era sekarang ini, terutama untuk rumah
kelas menengah ke atas adalah bahwa rumah tidak hanya sebagai tempat
berlindung, namun juga berfungsi sebagai tempat tinggal yang nyaman, sehat,
bahkan estetika menjadi bahan pertimbangan mereka dalam pembelian rumah. Dengan
demikian, para pengembang harus mampu memberikan pelayanan yang optimal untuk
memberikan kepuasan pada konsumennya. Oleh karena itu, selain faktor teknis,
para pengembang perlu mengetahui dan mengerti mengenai prilaku konsumen dalam
memasarkan produknya. Karena dengan mempelajari perilaku konsumen para
pengembang akan banyak memperoleh informasi tentang keterlibatan konsumen
secara langsung dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan sekaligus menghabiskan
produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului tindakan ini (Engel,
Well, & Miniard 1994).
Pengertian
pemasaran yang berkaitan dengan produk berupa real estate dan property adalah
suatu kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen akan rumah
tinggal dan atau ruang usaha, dengan cara pengalihan hak atas produk tersebut
dari perusahaan kepada konsumen melalui proses pertukaran ( Santoso 2000).
Marketing mix
(bauran pemasaran) merupakan seperangkat alat pemasaran yang digunakan untuk
mencapai tujuan pemasaran dalam pasar sasaran (Kotler 1999). Secara umum,
bauran pemasaran menekankan pada pengertian suatu strategi yang
mengintegrasikan produk (product), harga (price), promosi (promotion), dan
distribusi (place), dimana kesemuanya itu diarahkan untuk dapat menghasilkan
omset penjualan yang maksimal atas produk yang dipasarkan dengan memberikan
kepuasan pada para konsumen.
Sejalan dengan
semakin kompetitifnya dunia bisnis, 4-P tersebut berkembang. Pawitra (1993)
menegaskan bauran pemasaran meliputi 7-P yaitu product, place, price,
promotion, participant, physical evidence dan process. Sedangkan Payne
(1993) menyatakan bauran pemasaran terdiri dari product, place, price,
promotion, people, processes dan provision of consumer service.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, maka bauran pemasaran dapat meliputi produk, harga, lokasi, promosi, dan bukti fisik.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, maka bauran pemasaran dapat meliputi produk, harga, lokasi, promosi, dan bukti fisik.
Sebuah proses pengambilan keputusan pembelian tidak hanya
berakhir dengan terjadinya transaksi pembelian, akan tetapi diikuti pula oleh
tahap perilaku purnabeli (terutama dalam pengambilan keputusan yang luas).
Dalam tahap ini konsumen merasakan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan tertentu
yang akan mempengaruhi perilaku berikutnya. Jika konsumen merasa puas, ia akan
memperlihatkan peluang yang besar untuk melakukan pembelian ulang atau membeli
produk lain di perusahaan yang sama di masa datang. Konsumen yang merasa puas
cenderung akan menyatakan hal-hal yang baik tentang produk dan perusahaan yang
bersangkutan kepada orang lain. Oleh karena itu, pembeli yang puas merupakan
iklan yang terbaik (Bayus dalam Kotler et al. 1996).
Kotler (1999) memandang kepuasan sebagai fungsi dari seberapa
dekat harapan pembeli atas suatu produk dengan kinerja yang dirasakan pembeli
atas produk tersebut. Jika kinerja produk lebih rendah daripada harapan,
pembeli akan kecewa. Jika ia sesuai harapan, pembeli akan puas dan jika ia
melebihi harapan, pembeli akan sangat puas. Perasaan konsumen setelah membeli
produk akan membedakan apakah mereka akan membeli kembali produk tersebut dan
membicarakan hal-hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan tentang produk
tersebut pada orang lain.
Harapan konsumen terbentuk berdasarkan pesan yang diterima
dari penjual, teman, dan sumber-sumber informasi lainnya. Apabila penjual
melebih-lebihkan manfaat suatu produk, konsumen akan mengalami harapan yang tak
tercapai (disconfirmed expectation), yang akan menyebabkan ketidakpuasan.
Semakin besar kesenjangan antara harapan dan kinerja yang dihasilkan suatu
produk, akan semakin besar ketidakpuasan konsumen.
Konsumen yang
merasa tidak puas akan bereaksi dengan tindakan yang berbeda. Berkaitan dengan
hal ini, Singh dalam Tjiptono (1997) menyatakan ada tiga kategori tanggapan
atau komplain terhadap ketidakpuasan, yaitu :
a. Voice response
a. Voice response
Kategori ini
meliputi usaha menyampaikan keluhan secara langsung dan/atau meminta ganti rugi
kepada perusahaan yang bersangkutan. Bila pelanggan melakukan hal ini, maka perusahaan masih mungkin memperoleh
beberapa manfaat. Pertama, pelanggan memberikan kesempatan sekali lagi kepada
perusahaan untuk memuaskan mereka. Kedua, resiko publisitas buruk dapat
ditekan, baik publisitas dalam bentuk rekomendasi dari mulut ke mulut, maupun
melalui koran/media massa. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah ketiga,
memberi masukan mengenai kekurangan pelayanan yang perlu diperbaiki perusahaan.
Melalui perbaikan (recovery), perusahaan dapat memelihara hubungan baik dan
loyalitas pelanggannya.
b. Private response
Tindakan yang
dilakukan antara lain memperingatkan atau memberitahu kolega, teman atau
keluarganya mengenai pengalamannya dengan produk atau perusahaan yang
bersangkutan, Umumnya tindakan ini sering dilakukan dan dampaknya sangat besar
bagi citra perusahaan.
c. Third-party response
Tindakan yang
dilakukan meliputi usaha meminta ganti rugi secara hukum; mengadu lewat media
massa (misalnya menulis di Surat Pembaca); atau secara langsung mendatangi
lembaga konsumen, instansi hukum, dan sebagainya. Tindakan seperti ini sangat
ditakuti oleh sebagian besar perusahaan yang tidak memiliki prosedur penanganan
keluhan yang baik. Kadangkala pelanggan lebih memilih menyebarluaskan
keluhannya kepada masyarakat luas, karena secara psikologis lebih memuaskan.
Lagipula mereka yakin akan mendapat tanggapan yang lebih cepat dari perusahaan
yang bersangkutan.
Ada empat faktor yang mempengaruhi apakah seorang konsumen yang tidak puas akan melakukan komplain atau tidak menurut Day dalam Engel, Well,& Miniard (1994), yaitu:
Ada empat faktor yang mempengaruhi apakah seorang konsumen yang tidak puas akan melakukan komplain atau tidak menurut Day dalam Engel, Well,& Miniard (1994), yaitu:
- Penting tidaknya konsumsi yang dilakukan, yaitu menyangkut derajat pentingnya produk bagi konsumen, harga, waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi produk, serta social visibility.
- Pengetahuan dan pengalaman, yakni jumlah pembelian sebelumnya, pemahaman akan produk, persepsi terhadpa kemampuan sebagai konsumen, dan pengalaman komplain sebelumnya.
- Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi, meliputi jangka waktu penyelesaian masalah; gangguan terhadap aktivitas rutin, dan biaya
- Peluang keberhasilan dalam melakukan komplain.
0 comments:
Post a Comment