Menurut Veithzal Rivai (2008, h 193) untuk mencapai ketiga sasaran yaitu
keakuratan, keadilan dan keyakinan sangat tergantung pada kemampuan pewawancara
untuk mengatasi masalah-masalah seleksi berikut ini:
a.
Banyak pewawancara mengabaikan informasi
penting pewawancara hanya fokus pada sebagian kecil informasi yang utama
tentang keberhasilan pekerjaan, sehingga melalaikan sebagian informasi lainnya.
Oleh karena itu, pewawancara kurang dapat mengembangkan pelamar secara lengkap.
b.
Pewawancara terkadang mengabaikan
motivasi dan kesesuaian dengan kebutuhan perusahaan. Pewawancara terlalu fokus
pada aspek-aspek keterampilan dari pekerjaan dan akhirnya meluapkan hal-hal
yang mungkin disukai dan tidak disukai oleh pelamar. Kegagalan dalam penentuan
motivasi dapat berakibat pada kinerja karyawan yang buruk dan mungkin pula akan
terjadi pengunduran diri dini ketika sudah menjadi karyawan.
c.
Pertanyaan yang diajukan pewawancara
tidak fokus pada pekerjaan dan bahkan menyimpang terlalu jauh dan menyinggung
masalah pribadi pelamar.
d.
Pertanyaan yang diajukan oleh
pewawancara tumpang tindih, artinya pewawancara mengajukan pertanyaan yang sama
pada pelamar yang sama. Hal ini berarti membuang waktu yang tidak berguna,
karena tidak ada koordinasi antars esama pewawancara.
e.
Pewawancara tidak menyiapkan butir-butir
pertanyaan yang diajuakan sebelum seleksi dilakukan, akibatnya setiap pelamar
akan memperoleh pertanyaan yang jahuh berbeda sedangkan mereka akan ditempatkan
pada posisi yang sama setelah pelamar diterima sebagai karyawan. Bahayanya, ada
aspek-aspek penting yang terlupakan atau tidak tercakup ketika wawancara
dilakukan.
f.
Pelamar kurang tertarik dengan proses
wawancara/seleksi sebagai akibat pewawancara terlalu banyak bicara atau
mengulang-ulang pertanyaan yang tidak penting, bersikap kurang sopan,
meremehkan pelamar. Akibatnya pelamar akan mencari pekerjaan di tempat lain dan
reputasi perusahaan menjadi tidak baik.
g.
Mengelompokan pelamar, akibat
pewawancara mengklasifikasikan pelamar ke dalam beberapa kelompok, misalnya
”kelompok almamater” atau ”kelompok etnis”. Hal ini terjadi karena sebagian
pewawancara terbawa oleh prasangka-prasangka tertentu, akan tetapi mereka tidak
menyadari bahwa pengelompokan itu dapat berakibat terhadap keputusan yang
mereka ambil ketika menentukan seseorang pelamar diterima atau tidak.
h.
Pewawancara tidak cermat melakukan
wawancara sehingga tidak membuat catatan yang cukup. Banyak pewawancara yang
sama sekali tidak mencatat, dan hanya mengandalkan pada kemampuan ingatan
semata, yang belum tentu akurat. Wawancara yang tidak didokumentasikan dengan
baik menghasilkan keuntungan kepada pelamar yang pertama dan terakhir, karena
pewawancara lebih mudah mengingat mereka dibandingkan dengan pelamar lainnya,
ataupun mungkin terjadi sebaliknya.
i.
Kesalahan pewawancara dalam
menginterprestasikan informasi yang diperoleh dari pelamar. Akibatnya
pewawancara sering salah menginterprestasikan data bila ia bermain peran
sebagai ”psikolog amatir” dan menerka arti dibalik jawaban pelamar. Hal ini
dapat mengakibatkan penilaian yang salah.
j.
Terlalu cepatnya pewawancara membuat
keputusan mengenai pelamar. Ada pewawancara yang membuat keputusan seleksi atas
dasar jabatan tangan pada awal pertemuan, atau setelah mengajukan beberapa
pertanyaann saja.
k.
Dalam seleksi perusahan hanya
mengandalkan wawancara. Wawancara merupakan alat yang sangat baik dalam sistem
seleksi. Namun, pewawancara dapat memperoleh informasi penting lainnya dari
berbagai sumber seperti tes tertulis, simulasi, pengecekan referensi.
l.
Pewawancara sering melakukan diskusi
penerimaan karyawan tidak sisitematis. Pewawancara yang bertemu untuk mengambil
keputusan akhir penerimaan karyawan seringkali berbagai data pelamar
asal-asalan saja (sebagai contoh, ”ia tampaknya cekatan dan pintar”, ”ia sama
sekali tidak mempunyai pengalaman kerja”, ”ia tampaknya tergolong yang tidak
teliti/ceroboh”). Informasi penting untuk mengambil keputusan hilang, hubungan
antara sekian banyak informasi tidak pernah muncul, dan kesenjangan informasi
tentang pelamar tidak pernah ditemukan.
m.
Adanya pewawancara yang memberikan
faltor tertentu yang mempengaruhi keputusan seleksi. Pewawancara terkadang
menjadi korban dari pandangan sesat. Hal ini terjadi bila karakteristik
seseorang pelamar yang terlalu kuat atau terlalu rendah mempengaruhi keputusan
pewawancara tentang pelamar secara keseluruhan.
n.
Keharusan mengisi jabatan segera sangar
mempengaruhi keputusan. Akibatnya tidak jarang dijumpai standar terpaksa
diturunkan, sehingga terkadang ketika pewawancara mengambil keputusan, mereka
mengatakan bilamana nantinya terdapat kekurangan dari pelamar dapat dilatih
atau diatasi dengan pengetatan pengawasan.
0 comments:
Post a Comment