Agama merupakan sarana atau bentuk sosial penghayatan iman kepada Allah. Semua agama didunia mempunyai tujuan yang sama, yaitu menuju pada persatuan dengan Allah yang satu dan sama. Walaupun semua agama mempunyai tujuan yang sama, namun dalam tata cara.dan pelaksanaannya ber-beda. Perbedaan-perbedaan itulah yang menyebabkan konflik sosial.
Dalam pembicaraan ini akan dibahas beberapa bentuk konflik susial yang bersumber pada agama.
1. Perbedaan doktrin dan sikap mental.
Perbedaan doktrin de fakto menimbulkan bentrokan tidak penu kita persoalkan, tetapi kita mene-rimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama dari benturan itu. Entah sadar atau tidak setiap pihak mempunya gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, mem-berikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya.
Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan agama lawan dinilai menurut patokan itu. Karena setiap penganut agama mempunyai kayakinan bahwa agamanya memiliki ajaran yang paling benar. Maka mereka menjadi sombong, merasa lebih tinggi dari pada semua pemeluk agama yang lain. Dalam asap kesombongannya mereka merasa tahu lebih tepat mengenai rahasia dunia akhirat dan memastikan din akan masuk surga, sedangkan penganut agama lain akan rnasuk neraka. Kesombongan khayal itu melahirkan sikap memandang rendah pemeluk agama lain. Dengan kaca mata superior si penyombong itu memandang segala sesuatu yang ada pada agama lain serba bodoh dan serba salah, baik ajarannya, ibadatnya, maupun tingkah lakunya di dalam masyarakat, bahkan sampai pada hal-hal yang sepele seperti pakaian, cara berpikir, cara berbicara. Keseluruhan kompleks kejiwaan jenis itu disebut juga dengan istilah "prasanyka".
Dalam pembicaraan ini akan dibahas beberapa bentuk konflik susial yang bersumber pada agama.
1. Perbedaan doktrin dan sikap mental.
Perbedaan doktrin de fakto menimbulkan bentrokan tidak penu kita persoalkan, tetapi kita mene-rimanya sebagai fakta dan mencoba untuk memahami, dan mengambil hikmahnya. Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab utama dari benturan itu. Entah sadar atau tidak setiap pihak mempunya gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, mem-berikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya.
Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan agama lawan dinilai menurut patokan itu. Karena setiap penganut agama mempunyai kayakinan bahwa agamanya memiliki ajaran yang paling benar. Maka mereka menjadi sombong, merasa lebih tinggi dari pada semua pemeluk agama yang lain. Dalam asap kesombongannya mereka merasa tahu lebih tepat mengenai rahasia dunia akhirat dan memastikan din akan masuk surga, sedangkan penganut agama lain akan rnasuk neraka. Kesombongan khayal itu melahirkan sikap memandang rendah pemeluk agama lain. Dengan kaca mata superior si penyombong itu memandang segala sesuatu yang ada pada agama lain serba bodoh dan serba salah, baik ajarannya, ibadatnya, maupun tingkah lakunya di dalam masyarakat, bahkan sampai pada hal-hal yang sepele seperti pakaian, cara berpikir, cara berbicara. Keseluruhan kompleks kejiwaan jenis itu disebut juga dengan istilah "prasanyka".
Karena tiap-tiap golongan agama mempunyai sikap yang demikian itu, maka di dalam suatu masyarakat dimana ada banyak agama, ter-bentuk suatu supra struktur khayal yang dikuasai oleh sikap-sikap sombong, penghinaan melawan penghinaan, prasangka lawan prasangka, kesemuanya seperti bangunan-bangunan kosong didirikan atas landasan emosional. Kesombongan yang sejati tidak memungkinkan orane yang dikuasainya ber-sedia mengampuni orang lain yang dianggap salah atau berbuat yang tidak cocok dengan kerangka khayalnya. Sikap fanatik seseorang dapat mengagumkan anggota kelompoknya, tetapi dapat deskriptif bagi kelompok lain.
Hal ini memang senng terjadi dalam masyarakat dengan agama heterogen, dimana kelompok luar menjadi korban. Seorang heterogen, dimana kelompok luar menjadi korban. Seorang fanatikus yang tertutup dalam dunia kecilnya sendiri tidak dapat melihat kebenaran eksistensial ini bahwa manusia juga manusia beragama wahyu tidak pemah memiliki kebenaran selengkapnya dari apapun juga yang ditangkapnya dengan otak, apalagi mengenai kebenaran supra empiris (masalah iman). Baginya adalah sulit untuk menyadari bahwa agama lainpun memiliki kebenaran walaupun tidak lengkap. Seorany fanatikus akali dapat inenyubah diri menjadi orang bijak dan toleran pada saat ia dapat merelativir pendiriannya. Kalai; ia dapat melepaskan pendiriannya yang salah, bahwa apa yang benar bagi saya adalah salah bagi orang lain, apa yang suci bagi saya adalah dosa bagi orang lain dsb.
2. Perbedaan Suku dan Ras pemeluk agama.
Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama pada umumnya menjadi penyebab perpecahan antar umat manusia. Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan bertambahnya permusuhan dan. pencarian jalan keluamya, Jan kesemuanya itu menjadi bahan menank dalam diskusi ilmiah maupun dalam kalangan kaum politisi, adalah merupakan masalah yang tetap aktual. Contoh konkret perpecahan yang disebabkan perbedaan ras, suku, dan agama (sara) di Indonesia sangat banyak, bahkan sampai sekarang ini.
3. Perbedaan Tingkat Kebudayaan.
Agama merupakan bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan bahwa tingkat kemajuan budaya berbagai bangsa di dunia ini tidak sama. Agama merupakan motor penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan. Dari asumsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ketegangan antara bangsa yang berbudaya tinggi dan bangsa yang berbudaya masih rendah yang dialami dunia dari masa lampau hingga sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban agama-agarna yang dianut oletr bangsa-bangsa yang bersangkutan.
Keterlibatan agama-agama dalam hal tanggung jawab atas masalah tersebut tidak terelakkan, bila kita berpegangan pada asumsi bahwa illusi keunggulan ras sebagai faktor penyebab kemajuan kebudayaan tidak dapat kita terima. Dan lagi bahwa faktor-faktor geogragis dan klimatologis berdasar-kan alasan metodologis tidak diperhrtungkan sebagai penyebab perbedaan kebudayaan bangsa-bangsa. Maka tinggal satu faktor yang ikut bertanggungjawab atas kejadian yang pincang itu yaitu agama. Demikianlah agama merupakan motor dan promotor penting bagi pembudayaan manusia.
4. Masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Secara umum sudah diketahui bahwa agama-agama yang besar di dunia ini tidak mempunyai penganut yang sama besamya, misalnya : negara Eropa barat, Amerika Selatan dan Amerika Utara mempunyai penduduk mayoritas beragama Kristen (baik protestan maupun Katolik). Sedangkan diluar negara-negara tersebut penganut agama Kristen hanya merupakan minoritas, kecuali di Filipina dan Australia.
Dampak hubungan mayoritas minoritas pada tingkat intemasional kurang terasa dari pada tingkat nasional. Hal ini mudah dipahami karena kepentingan yang berbeda-beda pada tempat dan saat yang sama mudah menimbulkan benturan antara golongan yang berkepentingan. Kejadian yang tidak diinginkan itu terasa benar di Indonesia bukan saja Secara fisik tetapi juga secara bathin yang dialami golongan minorotas di daerah-daerah dimana mayoritas penduduknya menganut agama tertentu.
Untuk Indonesia harus diakui bahwa agama sebagai sumber perselisihan secara prinsip sudah dibendung oleh Pancasila sebagai haluan negara serta Undang-undang Dasar 1945. Setiap warga negara diberi kebebasan menganut agama yang dipilihnya dan diberi hak untuk melaksanakannya baik sendiri maupun bersama-sama, bahkan untuk menyebarluaskannya. Namun akibat dari kelemahan dan keterbatasan manusia, pelaksanaan tidak selalu sesuai dengan prinsipnya. Sifat-sifat negatif mayoritas muncul bukan hanya dibidang politik, tetapi juga dalam bidang keagamaan. Dilain pihak minoritas bukan hanya menjadi korban tetapi tidak jarang juga menjadi penyebab dari timbulnya perbenturan.
2. Perbedaan Suku dan Ras pemeluk agama.
Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama pada umumnya menjadi penyebab perpecahan antar umat manusia. Bahwa faktor ras itu sendiri terlepas dari agama sudah membuktikan bertambahnya permusuhan dan. pencarian jalan keluamya, Jan kesemuanya itu menjadi bahan menank dalam diskusi ilmiah maupun dalam kalangan kaum politisi, adalah merupakan masalah yang tetap aktual. Contoh konkret perpecahan yang disebabkan perbedaan ras, suku, dan agama (sara) di Indonesia sangat banyak, bahkan sampai sekarang ini.
3. Perbedaan Tingkat Kebudayaan.
Agama merupakan bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan bahwa tingkat kemajuan budaya berbagai bangsa di dunia ini tidak sama. Agama merupakan motor penting dalam usaha manusia menciptakan tangga-tangga kemajuan. Dari asumsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya ketegangan antara bangsa yang berbudaya tinggi dan bangsa yang berbudaya masih rendah yang dialami dunia dari masa lampau hingga sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban agama-agarna yang dianut oletr bangsa-bangsa yang bersangkutan.
Keterlibatan agama-agama dalam hal tanggung jawab atas masalah tersebut tidak terelakkan, bila kita berpegangan pada asumsi bahwa illusi keunggulan ras sebagai faktor penyebab kemajuan kebudayaan tidak dapat kita terima. Dan lagi bahwa faktor-faktor geogragis dan klimatologis berdasar-kan alasan metodologis tidak diperhrtungkan sebagai penyebab perbedaan kebudayaan bangsa-bangsa. Maka tinggal satu faktor yang ikut bertanggungjawab atas kejadian yang pincang itu yaitu agama. Demikianlah agama merupakan motor dan promotor penting bagi pembudayaan manusia.
4. Masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Secara umum sudah diketahui bahwa agama-agama yang besar di dunia ini tidak mempunyai penganut yang sama besamya, misalnya : negara Eropa barat, Amerika Selatan dan Amerika Utara mempunyai penduduk mayoritas beragama Kristen (baik protestan maupun Katolik). Sedangkan diluar negara-negara tersebut penganut agama Kristen hanya merupakan minoritas, kecuali di Filipina dan Australia.
Dampak hubungan mayoritas minoritas pada tingkat intemasional kurang terasa dari pada tingkat nasional. Hal ini mudah dipahami karena kepentingan yang berbeda-beda pada tempat dan saat yang sama mudah menimbulkan benturan antara golongan yang berkepentingan. Kejadian yang tidak diinginkan itu terasa benar di Indonesia bukan saja Secara fisik tetapi juga secara bathin yang dialami golongan minorotas di daerah-daerah dimana mayoritas penduduknya menganut agama tertentu.
Untuk Indonesia harus diakui bahwa agama sebagai sumber perselisihan secara prinsip sudah dibendung oleh Pancasila sebagai haluan negara serta Undang-undang Dasar 1945. Setiap warga negara diberi kebebasan menganut agama yang dipilihnya dan diberi hak untuk melaksanakannya baik sendiri maupun bersama-sama, bahkan untuk menyebarluaskannya. Namun akibat dari kelemahan dan keterbatasan manusia, pelaksanaan tidak selalu sesuai dengan prinsipnya. Sifat-sifat negatif mayoritas muncul bukan hanya dibidang politik, tetapi juga dalam bidang keagamaan. Dilain pihak minoritas bukan hanya menjadi korban tetapi tidak jarang juga menjadi penyebab dari timbulnya perbenturan.
Kita tidak boleh menyombongkan agama sendiri dan kita tidak boleh meremehkan agama lain, karena semua agama bertujuan sama tetapi kepercayaannya berbeda-beda.
ReplyDelete