Beberapa
media menuliskan CAFTA. Beberapa lainnya ACFTA (Asean China Free Trade
Agreement) atau Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dengan China. Majalah The Economist menulisnya sebagai
perjanjaian perdagangan bebas terbesar ketiga di dunia dalam satu dekade
terakhir, dalam nilai ekonomi, setelah Perdagangan bebas Uni Eropah dan NAFTA
(The North American Free-Trade Agreement). Melibatkan 1,9 Miliar penduduk sepuluh negara-negara ASEAN dan China.
Perjanjian
yang berlaku efektif 1 Januari 2010 diyakini akan memberikan dampak yang sangat
luas kepada negara-negara yang terlibat di dalamnya. Dampak dari perdagangan bebas
ini juga akan akan semakin besar karena ASEAN juga memiliki perjanjian
perdagangan bebas dengan Australia dan New Zealand. CAFTA diyakini akan
menjadi awal bagi perdagangan bebas yang lebih luas di kawasan Asia yang akan melibatkan negara-negara Asia Timur Jauh
(Jepang, Taiwan dan Korea) serta negara-negara Asia Selatan (India, Pakistan,
Sri Lanka dan Bangladesh).
Komunitas dagang China menyambut baik keberhasilan
diplomasi pemerintah China meyakinkan negara-negara ASEAN tentang perlunya
perjanjian perdagangan bebas ini. Hampir semua media di China menyambutnya
dengan sukacita. Perjanjian ini dibaca sebagai pasang naik perdagangan yang
menggembirakan sebagai alternatif baru bagi pasar produk-produk China yang
melimpah, menggantikan pasar Amerika Serikat dan Uni Eropah yang semakin
kedodoran. CAFTA juga akan memberikan akses bagi pasokan material bahan baku
dari sepuluh negara-negara Anggota ASEAN bagi memenuhi kebutuhan industri China yang
terus meningkat.
Namun bagi negara-negara ASEAN, CAFTA menjadi dilema
yang, paling tidak pada tahap transisi ini, menciptakan situasi serba salah.
Timbul situasi yang dilematis. Tanpa CAFTA pun, pasar negara-negara ASEAN
sebenarnya telah sejak lama dibanjiri produk-produk China. Eksportir China telah
lama 'menguasai' pasar ASEAN, legal maupun ilegal. Sehingga tanpa CAFTA pun, sesungguhnya China
telah melakukan transaksi dagang sebebas-bebasnya disini. Kebebasan itu terkait
dengan lemahnya penguasaan kita terhadap pintu masuk dan keluar negara-negara
ASEAN kecuali Singapura serta karena difasilitasi para pengusaha importir
negara-negara ASEAN.
Bagi Indonesia, CAFTA dengan sendirinya menjadi dilema.
Bagaimanapun kita membutuhkan kebijakan-kebijakan yang bersifat terobosan
sedemikian sehingga pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia bisa terus
meningkat. Membuat perjanjian kerjasama dagang dengan China diyakini akan
merupakan terobosan kearah itu. Namun serta merta dengan itu, CAFTA juga
berpotensi memukul Usaha Mikro Kecil dan Menengah kita yang masih bergelut
dengan berbagai masalah. Masalah utama ialah, lemahnya daya saing produk industri
mebeler atau tekstil kita dibandingkan dengan produk China.
Demikian juga soal tarif yang telah mendorong
bergairahnya perdagangan antara ASEAN dan China. Pada awal tahun ini, 6
negara-negara ASEAN yang kaya akan menghapuskan hambatan tarif atas 90 persen
produk peserta CAFTA, Indonesia termasuk di dalamnya. Namun empat negara ASEAN
lainnya (Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar), disetujui tidak perlu memangkas
tarif pada tingkat yang sama dengan 6 negara ASEAN lainnya hingga 2015.
Diantara sepuluh negara-negara ASEAN peserta CAFTA,
Indonesia diyakini yang paling rentan. Banyak pihak yang meragukan kemampuan
Indonesia bersaing bebas dengan China. Defisit perdagangan kita dengan China,
selama ini menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi hampir semua pakar ekonomi memandang
CAFTA akan memberikan harapan baru terutama bagi negara sebesar Indonesia
sepanjang kita mampu mengelola dilema yang kita hadapi. Dilema itu ialah,
menyetujui CAFTA akan menggairahkan pertumbuhan ekonomi tetapi berpotensi
menghancurkan tatanan UMKM.
Sebaliknya, mengabaikan CAFTA, sama dengan kita
mengingkari prinsip pasar bebas yang selama ini kita anut. Dan hakikatnya,
tanpa CAFTA pun, pasar kita telah sejak lama tidak bisa kita kelola dengan
lebih baik. Produk-produk China membanjiri pasar-pasar moderen dan tradisionl
kita. Pantai kita merupakan salah satu yang terpanjang di dunia sehingga
menjadi pintu masuk atau keluar yang leluasa bagi importir dan eksportir.
Mengelola Dilema
Tidak ada jaminan bahwa CAFTA akan sangat kuat
menghacurkan UMKM kita. CAFTA hanya akan berpotensi destruktif apabila kita
tidak mampu mengelola dilema yang ditimbulkannya. Itu akan sama saja dengan apa
yang dialami oleh Perdagangan Bebas Uni Eropah dan NAFTA yang pada akhirnya
tidak punya gigi karena setelah perjanjian disetujui, setiap negara justru
lebih memahami produk-produk mana saja yang masuk kategori pasar bebas serta
produk mana saja yang harus diproteksi.
Kemampuan kita mengelola dilema yang ditimbulkan CAFTA
justru akan membuka mata kita terhadap produk barang jadi atau barang modal
mana saja yang kita biarkan bersaing bebas dan produk apa saja yang kita
proteksi. Hal itu justru akan sangat baik bagi industri kita ke depan. Bukankah
tanpa CAFTA selama ini industri UMKM kita sesungguhnya telah dibiarkan bersaing
bebas hampir tanpa perlindungan dengan produk-produk China?
Mengelola dilema pasca CAFTA akan membuat pasar bebas
kita justru lebih terkelola. Produk-produk China akan kita hadapkan dalam
pesaingan bebas dengan produk-produk Korea, Jepang, Taiwan dan UE-AS. Namun
produk-produk unggulan kita yang berasal dari industri unggulan kita seperti
mebeler, tekstil, semen dan industri
UMKM nasional, diberikan perlindungan yang lebih kuat dan ketat.
Mengelola dilema CAFTA pada satu sisi akan sangat mungkin
menguntungkan konsumen kita akan tersedianya pilihan produk-produk yang lebih
murah namun berkualitas. Demikian juga dengan produk bahan baku dan barang
modal seperti CPO, Karet dan berbagai produk tambang dan mineral akan menemukan
pasar baru yang lebih terbuka. Sebaliknya, kegagalan mengelola CAFTA, diyakini
akan sangat buruk bagi industri kita, terutama UMKM yang masih berkutat dengan
seribu satu masalah.
Mengelola dilema itu ialah sebagaimana dikatakan oleh
Jutlistenall di Majalah Economist terbitan Januari 2010. China-ASEAN FTA selain
akan melibatkan 1,9 milyar manusia, juga akan melibatkan AS$ 6 Trilun GDP dan
nilai perdagangan luar negeri AS$ 4,5 Triliun. China sendiri memang mengambil
porsi 72 persen dari total GDP tersebut dan berpenduduk 65 persen dari total
penduduk China-ASEAN FTA .
Namun angka-angka
ini jangan dibesarkan-besarkan apalagi membesar-besarkan ketakutan atas dampak
atau dilema yang akan timbul. Yang perlu dilakukan secara konsisten ialah kita
menganut pasar bebas secara terkelola yaitu dengan tetap tidak satu negara
mendominasi satu sama lain. CAFTA sesungguhnya bisa menjadi era baru pasar
bebas yang 'terkelola' ketimbang dibiarkan sebebas-bebasnya sebagimana yang
kita saksikan selama ini.
Empat negara-negara miskin ASEAN diyakini akan menjadi
negara yang langsung mendapatkan mamfaat awal dari perjanjian ini, sementara 6
negara lainnya akan mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi pasca CAFTA. Hukum
dagang mengatakan, bila tidak memungkinkan mengalahkan sainganmu atau lawanmu,
jangan musuhi namun bangun perkawanan dengan satu tekad tumbuh dan berkembang
bersama-sama. Pertumbuhan ekonomi China yang selalu mendekati dua digit dan
konsisten perlu diajak berkawan atau bekerjasama membangun ekonomi kawasan.
Belajar Dari Malaysia
Mengelola CAFTA, sebagaimana banyak dikhawatirkan di
dalam negeri akan membawa kita pada pembelajaran yang telah dilakukan Malaysia.
Bagaimanapun fakta sejarah telah membuktikan China unggul dalam berbagai hal. China
dalam konteks ini ialah Pemerintahan China yang kuat tetapi terbuka kepada
pasar bebas. Talenta rakyat China yang sangat produktif serta China Overseas yang supportive baik terhadap sesamanya maupun kepada leluhurnya (baca
Tanah Air asalnya).
Fannin Rebecca (2009) dalam Silicon Dragon
menggambarkan betapa China dilahirkan sebagai negara dan individu yang memang
sangat unggul dalam bersaing. Sebagai populasi terbesar di Dunia, China
dewasa ini merupakan negara dengan penguasaan internet terbesar di dunia.
Memiliki jumlah pengguna ponsel terbesar di dunia sekitar 500 juta orang.
Memiliki mahasiswa yang belajar mengenai teknologi tiga kali lebih banyak
dibanding Amerika Serikat yang selama ini dianggap kampiun teknologi.
Tidak pelak lagi, pilhan membuat CAFTA adalah yang
terbaik yang seharusnya kita lakukan. Namun mengelola dilema serta kekhuatiran
serta ketakutan yang ditimbulkannya bisa kita kelola sebagaimana Malaysia
melindungi komunitas dan pengusaha Bumiputera dengan afirmasi yang
proporsional, yang tidak hanya bisa diterima kawan, melainkan juga oleh lawan
secara rasional. Dalam konteks China-ASEAN FTA, hal sama bisa dilakukan:
tidak boleh ada dominansi yang satu terhadap yang lain. Sebaliknya harus ada
afirmasi yang rasional dan proporsional sehingga dilema CAFTA justru membawa
kesejahteraan bagi anggotanya.
Lihat Juga Artikel dengan cara meng KLIK di bawah ini :
http://peluangusahamakro.blogspot.com/
http://ayuarifahharianja.blogspot.com/
http://dinulislami.blogspot.com/
Lihat Juga Artikel dengan cara meng KLIK di bawah ini :
http://peluangusahamakro.blogspot.com/
http://ayuarifahharianja.blogspot.com/
http://dinulislami.blogspot.com/
0 comments:
Post a Comment