Bahasa dalam Konteks Keilmuan


Dalam konteks ini ilmu tak lain adalah pengetahuan yang teratur tentang fenomena alam dan penelitian yang rasional tentang relasi antara konsep-konsep dengan fenomena yang diungkapkannya. Berkenaan dengan itu Rusyana (1989: 45) mengajukan beberapa syarat agar dapat bahasa tersebut dapat menjalankan fungsi yang selaras yaitu :
Syarat pertama, kejelasan antara lain dapat terindikasikan dari arti kata yang tidak menimbulkan keragu-raguan, struktur dan makna yang jelas. Kedua, sifat deskriptif yang dimaksud adalah bahasa yang menggambarkan kenyataan empiris, terinci sehingga dapat dibuktikan kesesuaiannya dengan yang digambarkan itu. Ketiga,bahasa yang bernalar dibutuhkan untuk menyatakan hubungan sebab akibat atau menyatakan hubungan fungsional, pernyataan-pernyataan tidak boleh bertentangan antara satu dengan yang lain. Keempat, pernyataan yang disusun harus dapat dikontrol, dapat diperiksa kebenaran dan kepalsuannya. Kelima, bahasa ilmu haruslah memiliki kesederhanaan. Bersangkut paut dengan susunan yang sistematis dalam keilmuan. Keenam, penggunaan bahasa keilmuan menuju bahasa yang abstrak, selaras dengan arah yang dituju, yakni dari hal-hal kongkrit menuju generalisasi dan selanjutnya teori (RUSYANA, 1989: 45). Kata kongkrit mengekspresikan kwalitas yang merupakan bagian dari suatu yang nyata atau peristiwa tertentu (Rottenberg, 1998: 150). Mawar yang indah adalah kongkrit, kita dapat melihatnya, menyentuh dan menciumnya. Keindahan (dimata) misalnya adalah abstrak. Mengembalikan uang yang ditemukan dijalan kepada pemiliknya meskipun tak ada yang melihat pada saat ditemukannya uang itu adalah kongkrit. Sedangkan kejujuran dalah abstrak.
Tulisan deskriptif cenderung bertumpu pada bahasa kongkrit. Tetapi juga membutuhkan yang abstrak. Penggunaan abstraksi secara efektif dalam argument penting dilakukan setidaknya karena dua alasan berikut :
-          Mengrepresentasikan kwalitas, karakteristik, dan nilai-nilai yang dijelaskan.
-          Memungkinkan penulis untuk menggeneralisasikan data. Abstraksi dapat bermakna pengalaman sampai kesimpulan (Rottenberg, 1998: 150).
1.      Karakteristik Bahasa Ilmu
Ilmu-ilmu empiris mengkaji masalah yang bersifat material. Tugas utamanya adalah memberi nama pada substansi dan obyek tertentu yang dijadikan bahan kajiannya (sapory, 1953: 120). Batu, bunga atau kelelawar sesungguhnya tidak lebih dari sesuatu label/ nama yang merupakan kesepakatan dari masyarakat pemakai bahasa Indonesia dalam penamaan suatu obyek. Tahap berikutnya menuntut fungsi pendayagunaan bahasa untuk menjelaskan nama-nama merepresentasikan substansi atau obyek yang dinamainya. Kegiatan penamaan dan penjelasan difungsikan untuk bahasa secara tepat, jelas, dan tidak ambigu. Bahasa ragam memiliki karakteristik yang berbeda dengan ragam lain dari kata-kata yang digunakannya (khas), antara lain maknanya yang konstan, kekuatan, serta kenetralannya dari emosi (Sapory, 1953: 80). Bahasa juga menuntut aturan logika yang benar, yang berarti pemakaian alat-alat bahasa, kata dan kalimat haruslah tepat, sehingga setiap kata hanya mempunyai satu fungsi saja dan setiap kalimat hanya mewakili satu keadaan factual saja (Mustansyir, 1994: 53).
Mulyono mengetengahkan tujuh cirri bahasa ilmu dan teknologi yaitu: (1) kelugasan dan kecermatan yang menghindari segala kesamaran. (2) keobyektifan yang sedapat-dapatnya tidak menunjukkan selera perseorangan. (3) pembedaan dengan teliti nama yang mengacu ke obyek penelitian (4) penjauhan emosi agar mencampurkan perasaan sentiment dalam tafsirannya. (5) kecendrungan membakukan makna kata dan ungkapannya (6) dogmatis (7) penggunaan kata dan kalimat yang ekonomis.
Holimin (1993) juga mengetengahkan tujuh cirri yang baik dan benar: logis, lugas, kwantitatif, bermakna tunggal, baku, denotatif, dan runtun.
Dari cirri-ciri tersebut bahwa kelugasan, keabstrakan, kelogisan, ketelitian, keobyektifan, keruntutan merupakan aspek- aspek utama yang menandai bahasa bahasa Indonesia merupakan ragam ilmu.
2.      Fungsi Bahasa Perspektif Epistemologis
Bahasa memiliki fungsi yang selaras dengan konteksnya. Maksud konteks disini siapa yang menggunakan bahasa dan untuk keperluan apa, siapa yang dituju, kapan komunikasi bahasa itu, serta bagaimana hubungan mereka antara penyampai pesan dan penerima pesan. Teori epistemology tentang “tiga dunia” dapat dipergunakan sebagai titik tolak untuk memiliki fungsi bahasa. Dunia I, menurut Poper (1976: 181) adalah dunia benda-benda misalnya meja, kursi, photo, lukisan dan lainnya. Dunia II berisi pengalaman subyektif misalnya pengalaman subyektif seseorang. Dunia III adalah dunia pernyataan dalam dirinya sendiri (Deword of statement in himself), yang terdiri atas masalah-masalah dan argument-argumen kritis. Suatu pernyataan obyektif, mislanya teori dapat dibicarakan dan dikritik.
Bertolak dari epistemology tentang ketiga dunia yang diketengahkan, Poper mengemukakan bahwa bahasa merupakan sebuah saluran yang bersumber pada evolusi biologis manusia, yang selanjutnya mengarah pada suatu jenis evolusi yang lebih kuat dan cepat, yakni evolusi pengetahuan (Leech, 1993: 75). Dalam evolusi ilmu pengetahuan, bahasa memainkan peran penting karena teori-teori yang menjadi landasan perkembangan ilmu pengetahuan itu dapat dirumuskan dalam bentuk bahasa. Berikut perkembangan fungsi dalam evolusi bahasa manusia.
Fungsi argumentasi : memakai bahasa untuk menyajikan dan menilai argumentasi dan penjelasan. Fungsi deskriptif : memakai bahasa untuk memberikan obyek-obyek dalam dunia eksternal. Fungsi informatif : memakai bahasa untuk menyampaikan informasi kepada orang lain mengenai keadaan- keadaan eksternal. Fungsi ekspresif : memakai bahasa untuk mengungkapkan keadaan-keadaan internal individu.  Fungsi yang lebih primitif adalah fungsi informatif, dan fungsi ekspresif, sedangkan fungsi yang paling dominan adalah fungsi deskriptif dan argumentasi. Apabila sebuah sistem komunikasi sudah meningkat kefungsi yang lebih tinggi, maka ia dapat mempengaruhi perilaku pada tingkatan fungsi yang lebih rendah. Mislanya, seseorang menggunakan bahasa desktiptif, tidak sekedar memungkinkan seseorang memiliki kesanggupan untuk memberikan benda-benda dalam dunia eksternal, melainkan juga keadaan intenalnya sehingga ia dapat mengungkapkan keadaan internal tersebut (fungsi ekspresif) secara lebih eksplisit ketimbang sebelumnya. Bertolak dari fungsi dasarnya, bahasa berfungsi menjelmakan pemikiran konseptual ke dalam dunia kehidupan yang kemudian penjelmaan tersebut menjadi landasan untuk perbuatan (Santoso, 1981: 253).
Terdapat beberapa kemungkinan manakala pemikiran konseptual dinyatakan dalam bahasa: (1) orang lain mengetahui adanya konseptual, (2) orang lain mengerti isi konseptual, (3) orang lain dapat menilai benar salahnya pemikiran konseptual, (4) orang lain dapat mengajarkan pemikiran tersebut, (5) setelah mengerti dapat menyusun rencana perbuatan.
Selanjutnya dalam komunikasi keilmuan, fungsi yang paling dominan dalam bahasa adalah fungsi referensial, ditektif, metalingula, dan kadang-kadang fungsi fatis (Jakobson, 1966: Suryawinata, 1990). Fungsi referensial dapat ditandai dari dominannya rujukan (reference) yang pasti dari istilah-istilah atau konsep yang dipergunakannya untuk menjelaskan subyect matter. Istilah referensial sendiri dipergunakan oleh para penulis sebagai lawan Emotif disatu pihak dan untuk mendefinikan ikhwal sesuatu secara ilmiah atau informative dilain [ihak (Kinneafy, 1998: 75).
3.      Penjelasan dalam Tautan dengan Argumen Ilmiah
Dalam konteks ilmu empiris tujuan yang hendak dicapai adalah menetapkan, menggambarkan serta akhirya memberikan penjelasan gejala-gejala tertentu yang menjadi sasaran pendidikan. Tugas dari penjelasan tak lain adalah integrasi dari fenomena yang baru (baik secara obyektif atau subyektif) kedalam struktur pengetahuan (Sills, 1968). Sebagai contoh : (1) Jika hari hujan, maka jalanan akan basah, (2) Hari ini turun hujan, (3) Hari ini jalanan basah. Dari contoh tadi dapat disimpulkan bahwa kesimpulan tidak lebih dari penjelasan atas kondisi yang dinyatakan sebelumnya.
Dalam konteks empiris suatu penjelasan ilmiah berfungsi untuk memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa suatu hal tejadi, berlangsung, atau yang pernah terjadi (Beerling, Kwee, Mooij, dan Vanpeursen, 1997: 58)
Dalam kaitan itu, Chomsky (1965: 589) mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan(alam) amat memperhatikan masalah yang berkaitan dengan fenomena penjelasan dan sedikit memiliki kegunaan untuk melakukan desktiptif akurat yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah penjelasan.
4.      Tipe-tipe penjelasan
Ada beberapa tipe-tipe penjelasan, diantaranya sebagai berikut :
(1)   Penjelasan yang ditandai dengan adanya indikasi penyebab atau pelaku.
(2)   Penjelasan denagn katagori atau klasifikasi.
(3)   Penjelasan yang ditandai dengan adanya tujuan tertentu.
(4)   Penjelasan yang dilakukan dengan suatu deskripsi (Kinneavy, 1988: 84-85).
Penjelasan tipe pertama misalnya “Gelas situ pecah karena ia menjatuhkannya ke lantai”
Penjelasan tipe kedua : “Ia member isyarat dengan tangan karena ia tidak mengerti bahasa Jawa”
Penjelasan ketiga : “Ia segera menyelesaikan tugas kuliah karena ia ingin cepat lulus studi”.
Penjelasan tipe keempat : “ Ia hanya memerlukan waktu 4 menit untuk tiba di kampus karena jarak dari rumahnya kekampus hanya 500 Meter”.
Dari keempat tipe diatas, tipe pertamalah yang paling banyak dipergunakan untuk melakukan penjelasan dalam berbagai konteks keilmuan. Bertolak dari perspektif lain, ada dua perbedaan pokok antara penjelasan ilmiah dan penjelasan tidak ilmiah (Copi dan Cohen, 1994: 531-532). Perbedaan pertama terletak pada attitude taken toward the explanations in question. Penjelasan demikian dianggap sesuatu yang mutlak benar sehingga tidak memungkinkan untuk dikoreksi. Perbedaan kedua terletak pada the basisi for accepting or rejecting the view in question. Landasan untuk melakukan penolakan menjadi perbedaan yang mendasar diantara keduanya. Landasan yang tidak ilmiah lebih menyerupai prasangka yang didasari oleh alasan-alasan yang kebenarannya telah diyakini sebelumnya.
Suatu penjelasan ilmiah atas fakta tertentu, lebih proposisi yang dapat diuji kebenarannya secara langsung ketimbang suatu pernyataan atas fakta yang dijelaskan. Berbeda dengan penjelasan tidak ilmiah, penjelasan dapat dipandang sebagai suatu hipotesis. Penerimaan atau penolakannya berdasarkan bukti yang ditampilkan. Suatu hipotesis, pernyataan yang berkaitan dengan kebenaran atau kesalahannya amatlah terbuka.
Suatu penjelasan ilmiah yang empirik berbeda dengan penjelasan lain. Dalam penjelasan ilmiah tidak dapat ditemukan jawaban mutlak atas pertanyaan “mengapa” melainkan sejedar jawaban obyektif atas pertanyaan tersebut. Yang dapat diatawarkan oleh penjelasan dalam ilmu empirik pada hakikatnya tidak akan melebihi kemampuan yang ada dalam dirinya (Beerling, Kwee, Mooij, dan Van peursen, 1997: 61).


0 comments:

Post a Comment