A. Gagasan Dasar Konstruktivisme
1. Dunia (alam semesta) dan ilmu pengetahuan
Popper membedakan tiga
pengertian tentang alam semesta: a) dunia fisik atau keadaan fisik, b) dunia
kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku, dan c) dunia dari isi
objektif pemikiran manusia, khususnya pemikiran ilmiah, puitis, dan seni. Dunia
oleh Popper dipandang secara ontologis.
Menurut Driver dan Bell,
ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. IImu
pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua
gagasan dan konsepnya yang ditemuan secara bebas. Menurut Einstein dan Infeld,
konsep atau teori tidak menuruti pengamatan induktif yang sederhana. Hal ini
terbukti dengan adanya banyak siswa yang mengalami kesulitan untuk
mengabstraksikan kenyataan-kenyataan yang mereka peroleh dari percobaan-percobaan
mereka. Abstraksi dan teorisasi itu melalui proses penemuan yang imaginatif,
tidak cukup hanya dengan mengamati objek yang ada. Ada dua dunia yang berbeda,
dunia kenyataan dan dunia pengertian. Untuk menjembatani keduanya, diperlukan
proses konstruksi imaginatif.
2. Hakikat pengetahuan
Cukup lama diterima bahwa
pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan)
kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pengetahuan
dianggap sebagai kumpulan fakta. Namun akhir-akhir ini, terlebih dalam bidang
sains, diterima bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar
mengerti. Pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan
(konstruksi) yang terus-menerus, terus berkembang dan berubah. Konsep-konsep
yang dulu dianggap sudah tetap dan kuat, seperti Hukum Newton dalam ilmu
fisika, ternyata harus diubah karena tidak dapat lagi memberikan penjelasan
yang memadai. Menurut Piaget, sejarah revolusi sains menunjukkan perubahan
konsep-konsep pengetahuan yang penting.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita
sendiri. Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia
kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi
kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema,
kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan.
Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan
ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh dialaminya.
Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan
reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru.
Para konstruktivis
menjelaskan bahwa satu-satunya alat/ sarana yang tersedia bagi seseorang untuk
mengetahui sesuatu adalah indranya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan
lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakannya. Dari
sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya. Misalnya, dengan
mengamati air, bermain dengan air, mencecap air, dan menimbang air, seseorang
membangun gambaran pengetahuan tentang air. Para konstruktivis percaya bahwa
pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang
lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan
dengan menyesuaikan terhadap pengalarnan-pengalaman mereka.
Tampak bahwa pengetahuan
lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri.
Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman
tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan
sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Menurut Von Glasersfeld,
pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu dia
berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan dapat berarti dua macam. Pertama,
bila kita berbicara tentang diri kita sendiri, lingkungan menunjuk pada
keseluruhan objek dan semua relasinya yang kita abstraksikan dari pengalaman.
Kedua, bila kita memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, lingkungan menunjuk
pada sekeliling hal itu yang telah kita isolasikan. Dalam hal ini, baik hal itu
maupun sekelilingnya merupakan lingkup pengalaman kita sendiri, bukan dunia
objektif yang lepas dari pengamat.
Struktur konsepsi tersebut
membentuk pengetahuan bila struktur itu dapat digunakan dalam menghadapi
pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi persoalan-persoalan
mereka yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Bila konsep ataupun abstraksi
seseorang terhadap sesuatu dapat menjelaskan macam-macam persoalan yang
berkaitan, maka konsep itu membentuk pengetahuan seseorang akan hal itu.
Misalnya, konsepsi seseorang akan ciri-ciri seorang wanita dibandingkan dengan
seorang lelaki akan menjadi suatu pengetahuan tentang "ciri-ciri
wanita" bila konsepsi itu dapat digunakan dalam menganalisis wanita-wanita
lain yang dijumpainya dan dapat membedakan antara wanita dan lelaki yang
dijumpainya.
Bagi para konstruktivis,
pengetahuan bukanlah tertentu dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi
tahu. Misalnya saja, pengetahuan kita akan “kucing” tidak sekali jadi, tetapi
merupakan proses untuk semakin tahu. Pada waktu kecil dengan melihat kucing,
menjamah, dan bergaul dengan kucing di rumah, kita membangun pengertian akan “kucing”
sejauh dapat ditangkap dari kucing kita sendiri yang terbatas. Dalam perjalanan
selanjutnya, kita bertemu dengan jenis kucing-kucing lain dengan segala macam
bentuk dan sifatnya. Interaksi dengan macam-macam kucing ini menjadikan
pengetahuan kita akan kucing lebih lengkap dan rinci daripada gambaran waktu
kita kecil.
Konstruktivis menyatakan
bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka
mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain
bahkan secara prinsipil. Tidak mungkinlah mentransfer pengetahuan karena setiap
orang membangun pengetahuan pada dirinya.
Pengetahuan bukanlah suatu
barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai
pengetahuan ke pikiran orang yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila
seorang guru bermaksud mentransfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada
seorang siswa, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh
si siswa lewat perrgalamannya. Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang
diajarkan oleh gurunya menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu
saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit
diinterpretasikan sendiri oleh siswa.
Dalam proses konstruksi
itu, menurut Von Glasersfeld, diperlukan beberapa kemampuan, yaitu: a)
kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, b) kemampuan
membandingkan, mengambil keputusan (justitifikasi) mengenai persamaan dan
perbedaan, dan c) kemampuan
untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena
pengetahuan dibentuk berdasarkan interaksi dengan pengalaman-pengalaman
tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sifat
yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan
perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan.
Karena kadang seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain,
maka muncullah soal nilai dari pengetahuan yang kita bentuk.
Piaget membedakan dua
aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan ini, yaitu: a) aspek figuratif
dan b) aspek operatif. Aspek berpikir
figuratif adalah imaginasi
keadaan sesaat dan statis. Ini mencakup persepsi, imaginasi, dan gambaran
mental seseorang terhadap sesuatu objek atau fenomena. Aspek berpikir
operatif lebih berkaitan
dengan transformasi dari satu level ke level lain. Ini menyangkut operasi
intelektual atau sistem transformasi. Setiap level keadaan dapat dimengerti
sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi
transformasi lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esential dari berpikir
adalah aspek operatif. Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang
untuk mengembangkan pengetahuannya dari suatu level tertentu ke level yang
lebih tinggi.
Tujuan mengetahui sesuatu
bukanlah untuk menemukan realitas. Tujuannya lebih adaptif, yaitu untuk
mengorganisasikan “pengetahuan” yang cocok dengan pengalaman hidup manusia,
sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan dan
pengalaman-pengalaman baru. Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai
pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia
kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan
subjek.
b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori,
konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi
seseorang.
Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsepsi tersebut berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang.
3. Realitas dan kebenaran
Pengetahuan kita bukanlah
realitas dalam arti umum. Konstruktivisme menyatakan bahwa kita tidak pernah
dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti
adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu objek. Menurut Bettencourt, memang
konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat
bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas”
bagi konstruktivisme tidak pernah ada
secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas “di
sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh orang yang
menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing
tergantung pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati.
Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya, “Apakah yang kita ketahui itu
memang sungguh kenyataan yang ada?”, kaum konstruktivis akan menjawab, “Kami
tidak tahu, itu bukan urusan kami.”
Lalu, bagaimana halnya dengan
kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu
benar? Beberapa paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu
diangap benar bila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataannya. Misalnya,
pengetahuan seseorang bahwa “angsa itu putih” adalah benar bila dalam
kenyataannya memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain. Dengan kata lain,
orang membuktikan pengetahuannya dengan membandingkannya dengan realitas
ontologisnya. Bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau
pengetahuan dalam beroperasi. Artinya, pengetahuan yang kita konstruksikan itu
dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang
berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum
gerak Newton dianggap benar karena dengan hukum itu kita dapat memecahkan
banyak persoalan tentang gerak. Dalam kaitan dengan ini, maka kita dapat
menangkap bahwa pengetahuan kita ada taraf-tarafnya: dari yang cocok atau
berlaku untuk banyak persoalan sampai dengan yang hanya cocok untuk beberapa
persoalan. Sekali lagi tampak bahwa pengetahuan itu bukan barang mati yang
sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang.
4. Hal yang membatasi konstruksi pengetahuan
Bettencourt menyebutkan beberapa hal
yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia, antara lain: a)
konstruksi kita yang lama, b) domain pengalaman kita, dan c) jaringan struktur
kognitif kita. Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita yang lampau dapat
menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Unsur-unsur yang
kita abstraksikan dari pengalaman yang lampau, cara kita mengabstraksi dan
mengorganisasikan konsep-konsep, aturan main yang kita gunakan untuk mengerti
sesuatu, semuanya punya pengaruh terhadap pembentukan pengetahuan berikutnya.
Misalnya, pengetahuan kita akan hukum Newton akan selalu membatasi kita dalam
menganalisis suatu gerak. Pandangan kita mengenai suatu objek, misalnya tikus,
akan mewarnai dan dapat membatasi pengertian kita akan binatang lain yang mirip
dengan tikus. Pengalaman yang sudah kita abstraksikan, yang telah menjadi suatu
konsep, dalam banyak hal akan membatasi pengertian kita tentang sesuatu yang
ada kaitannya dengan konsep tersebut. Bahkan ini terjadi juga dalam pengertian
kita mengenai orang. Misalnya, pengalaman bentrok kita dengan seorang teman
yang telah kita jadikan suatu konsep “bahwa teman itu tidak baik”, akan dapat
mempengaruhi pandangan dan gagasan kita tentang orang itu selanjutnya, meskipun
mungkin orang itu sudah berubah.
Pengalaman kita yang
terbatas akan sangat membatasi perkembangan pembentukan pengetahuan kita pula. Pengalaman
akan fenomena yang baru akan menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan
pengetahuan kita dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita
pula. Dalam bidang ilmu fisika, biologi, kimia, geologi, atau astronomi sangat
jelas peranan pengalaman ataupun percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum,
teori, maupun konsep-konsep ilmu tersebut. Dalam bidang ilmu matematikapun
pengalaman mengkonsepsi maupun memecahkan persoalan-persoalan baru, akan
sangat mempengaruhi perkembangan pengetahuan seseorang tentang matematika
sendiri. Dalam bidang pengetahuan sosial, pengalaman berinteraksi dengan
masyarakat dan lingkungan yang semakin luas akan juga memperluas pemahaman
pengetahuan sosial seseorang.
Struktur kognitif merupakan suatu
sistem yang saling berkaitan. Konsep, gagasan, gambaran, teori, dan sebagainya
yang membentuk struktur kognitif saling berhubungan satu dengan yang lain.
Inilah yang oleh Toulmin disebut ekologi konseptual. Setiap pengetahuan
yang baru harus juga cocok dengan ekologi konseptual tersebut, karena manusia
cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi sistem tersebut. Kecenderungan ini
dapat menghambat perkembangan pengetahuan.
5. Faktor yang memungkinkan perubahan
pengetahuan
Banyak situasi yang
memaksa atau membantu seseorang untuk mengadakan perubahan dalam
pengetahuannya. Perubahan ini mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt
menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan, yaitu: a)
konteks tindakan, b) konteks membuat masuk akal, c) konteks penjelasan, dan d)
konteks pembenaran (justifikasi).
Bila seseorang harus cepat bertindak
atau memecahkan sesuatu secara terencana, ia akan terdorong untuk menganalisis
situasi dan persoalan yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu ia dapat
bertindak secara efisien dan membentuk pengetahuan atau konsep yang baru. Juga
bila seseorang berhadapan dengan suatu persoalan atau kejadian baru yang tidak
disangka-sangka, ia ditantang untuk mencari arti dan makna hal itu dengan
menggunakan gagasan, ide-ide, maupun konsep-konsep yang telah ia punyai. Bila
konsepnya tidak cocok, lalu ia terpaksa harus mengubah konsepnya. Dengan
demikian ia mengembangkan pengetahuan yang baru.
Pertanyaan “Apa yang kamu maksudkan
dengan ini, bagaimana kamu dapat menjelaskan hal ini?” memacu orang untuk
mengkonstruksi sesuatu dan mengerti sesuatu. Juga bila seseorang harus
mempertahankan dan membenarkan gagasannya terhadap kritikan orang lain, ia
didorong untuk menciptakan konstruksi yang baru. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa situasi atau konteks yang memaksa seseorang untuk menyadari “sesuatu”,
dapat membantu orang itu mengubah atau paling sedikit memperkembangkan
pengetahuannya. Dalam bidang pengajaran sains dan matematika, kadang perlu
ditunjukkan persoalan atau gejala yang berlawanan dengan yang telah dipikirkan siswa.
Gejala tersebut, yang dinamakan gejala anomali, dapat memacu siswa mengubah dan memperkembangkan pengetahuan
mereka. Misalnya, bila kebanyakan siswa beranggapan bahwa benda padat selalu
akan tenggelam dalam zat cair, tunjukkan kepada mereka gabus yang tidak
tenggelam dalam air.
0 comments:
Post a Comment