Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pada tahun-tahun awal dari pelaksanaan otonomi daerah tersebut baru memulai tahap persiapan, yaitu dengan menyiapkan peraturan perundang-undangan untuk menjamin berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Untuk tahun 1999 dan 2000, telah banyak peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh Pemerintah diantaranya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tentang Kewenangan Daerah Propinsi dan daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang dana perimbangan, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekosentrasi dan Tugas Perbantuan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah. 

Melalui formulasi dana perimbangan yang ditetapkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 terdapat perubahan-perubahan yang cukup mendasar terhadap pengelolaan keuangan negara. Perubahan tersebut adalah perubahan sistem alokasi anggaran yang didaerahkan yaitu dari sistem subsidi daerah otonom dan dana rutin daerah menjadi dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Perubahan yang mendasar dalam hal ini adalah cara-cara pengelolaannya yang memberikan fleksibelitas yang tinggi kepada daerah dalam pengelolaan keuangan dan pemerintahan didaerahnya. 

Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan implementasi perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah (1) masih banyaknya daerah yang mengalami pemekaran sehingga ada kesulitan dalam menetapkan batas wilayah daerah penghasil sumber daya alam (SDA) terutama yang berasal dari migas. Pemekaran ini juga berpengaruh pada kemampuan dan potensi daerah induk seta distribusi alokasi anggaran pusat ke daerah. ; (2) masih belum sempurnanya formulasi DAU yang disebabkan oleh akuntabilitas dan ketersediaan data secara luas, kesederhanaan mekanisme perhitungan, “keadilan” horizontal pada daerah-daerah yang memiliki karekteristik sama serta beberapa hal teknis lainnya; (3) terjadinya kekurangsesuaian pembiayaan yakni kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan dana terutama disebabkan masih luasnya “gray area” dalam pemisahan kewenangan pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota. Disamping itu, kekurangsesuaian pembiayaan ini juga disebabkan karena masih berlangsungnya pelaksanaan pengalihan Peralatan, Pembiayaan, Personil dan Dokumentasi (P3D); (4) masih banyaknya Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengalami kerugian sebagai akibat dari masih rendahnya manajemen sumber daya manusia pengelola BUMD, terbatasnya permodalan, belum adanya standar kinerja keuangan yang dapat dijadikan alat bagi stakeholders untuk menilai kinerja keuangan BUMD dan pengaturan dasar hukum BUMD yang masih berdasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang perusahaan daerah yang dirasakan sudah tidak kondusif lagi sebagai akibat dari perubahan pelaksanaan system pemerintahan yang semula sentralistis menjadi desentralistis. 


0 comments:

Post a Comment