Percepatan Restrukturisasi Perbankan dan Dunia Usaha

Program rekapitalisasi perbankan sebagai salah satu langkah utama dalam kebijakan restrukturisasi perbankan telah diselesaikan pada 31 Oktober 2000. Secara keseluruhan, selama tahun tersebut telah dilaksanakan rekapitalisasi terhadap 6 bank umum yaitu Bank Niaga, Bank Bali, Bank Danamon (merger dengan 8 Bank Take Over), dan penerbitan obligasi tahap kedua BNI, BRI dan BTN. Rekapitalisasi tersebut dilaksanakan dengan penerbitan obligasi Pemerintah sejumlah Rp 148,6 triliun. 

Dengan penyelesaian program rekapitalisasi perbankan, telah meningkatkan total aset dan modal perbankan. Dalam tahun 2000, total aset perbankan meningkat 2,4 persen dibandingkan Desember tahun 1999, mencapai Rp1.030,5 triliun. Dari sisi modal perbankan perbaikannya jauh lebih besar, yaitu dari negatif Rp 41,2 triliun pada Desember 1999 menjadi positif Rp 53,5 triliun pada akhir 2000. 

Untuk memulihkan fungsi intermediasi perbankan, selain melalui rekapitalisasi perbankan, juga ditempuh dengan restrukturisasi kredit untuk membantu pemulihan usaha debitur. Program restrukturisasi kredit bermasalah dilakukan baik oleh bank itu sendiri maupun melalui perantaraan Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit (Satgas) yang dibentuk Bank Indonesia. Sementara itu, BPPN merestrukturisasi kredit bermasalah yang ditransfer dari bank-bank BUMN dan bank-bank peserta program rekapitalisasi. Sedangkan restrukturisasi terhadap utang luar negeri perusahaan swasta, di luar yang dilakukan oleh bank, Satgas Restrukturisasi Kredit dan BPPN tersebut dilakukan melalui perantaraan Prakarsa Jakarta. 

Sampai dengan akhir 2000 kredit bermasalah di luar BPPN yang telah direstrukturisasi dan yang telah memasuki tahap implementasi tercatat sebanyak 20.430 debitur dengan nilai Rp.59,9 triliun atau 71,4 persen dari total Non-Performing Loans (NPLs). Sedangkan BPPN telah berhasil merestrukturisasi 28,3 persen dari total kredit perbankan yang ditanganinya sebesar Rp.286,3 triliun. Restrukturisasi kredit yang dilakukan BPPN tersebut mencapai tahap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan implementasi proposal restrukturiasi. 
Meskipun telah dicatat berbagai kemajuan, masih dicatat sejumlah permasalahan. Dari sisi permodalan, meskipun modal semua kelompok bank sudah positif, namun dalam tahun 2000 masih terdapat beberapa bank yang mempunyai rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di bawah yang direncanakan, yaitu 4 persen. Dari jumlah aset perbankan yang telah meningkat seperti diuraikan di atas, sebagian besar masih berupa portofolio obligasi pemerintah di bank-bank dan SBI, masing-masing 41,9 persen dan 5,8 persen dari total aset. Perkembangan tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan penjualan sebagian obligasi pemerintah yang dimiliki perbankan dan pengambilalihan kredit yang telah direstrukturisasi BPPN belum seperti yang diharapkan. Fungsi intermediasi perbankan masih harus didorong lebih lanjut. Kredit perbankan pada tahun 2000 secara keseluruhan memang meningkat 15,5 persen. Namun jika pengaruh depresiasi nilai tukar Rupiah dihilangkan, maka peningkatan tersebut menjadi hanya 2,2 persen. 

Ada 5 permasalahan pokok yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan kredit. Pertama, masih terbatasnya debitur potensial sehingga sebagian dari penyaluran kredit baru hanya diberikan dalam bentuk kredit memengah dan kecil dengan tujuan konsumsi. Kedua, perbankan menilai resiko usaha masih tinggi, meskipun terdapat permohonan kredit oleh nasabah baru. Ketiga, para debitur belum melakukan penarikan atas komitmen kredit secara optimal karena belum didukung oleh iklim usaha yang kondusif. Keempat, beberapa bank rekapitalisasi yang masih mengalami masalah likuiditas menghadapi kesulitan untuk menjual obligasi yang dimilikinya karena belum berkembangnya pasar sekunder obligasi pemerintah. Kelima, beberapa bank masih menghadapi kesulitan pemenuhan ketentuan CAR dan Batas Masimum Pemberian Kredit (BMPK). 

Proses restrukturisasi perusahaan yang dilakukan oleh BPPN dan Prakarsa Jakarta telah mengalami kemajuan. Sampai dengan akhir tahun 2000, menurut survei yang dilakukan oleh Prakarsa Jakarta total utang yang diberikan kepada sektor swasta berjumlah US$ 119 miliar. Sebanyak kurang lebih 50 persen (US$ 59,9 miliar) dari utang tersebut merupakan utang bermasalah. BPPN menangani restruksturisasi utang sekitar US$ 29,9 miliar. Sementara itu hingga Desember 2000 terdapat 91 kasus restrukturisasi utang yang terdaftar di Parkarsa Jakarta dengan total nilai mencapai US$ 16,9 miliar. Jumlah kasus yang telah diselesaikan proses mediasinya mencapai 37 kasus, dengan total nilai mencapai US$ 9,36 miliar. Sisa utang perusahaan bermasalah tersebut berada di luar proses restrukturisasi utang yang dilakukan oleh BPPN dan Prakarsa Jakarta, antara lain restrukturisasi utang yang langsung ditangai oleh perbankan nasional. 

Masalah pokok yang dihadapi dalam upaya mempercepat restrukturisasi utang perusahaan ini adalah situasi ekonomi makro yang tidak kondusif, debitur yang tidak kooperatif, masalah dokumentasi pengalihan pinjaman dari bank-bank ke BPPN (Asset Transfer Kit atau ATK) yang tidak memadai, adanya hambatan dari kreditur lainnya, khususnya untuk pinjaman sindikasi, ketidakpastian peraturan, khususnya untuk aset-aset yang berada di daerah seperti perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan masih lemahnya penegakan hukum dalam sistem sistem peradilan niaga. Permasalahan tersebut juga telah menghambat implementasi dari kesepakatan-kesepakatan restrukturiasi utang yang telah dilakukan antara perusahaan dengan BPPN dan kreditur-kreditur yang dimediasi dalam kerangka Prakarsa Jakara.


0 comments:

Post a Comment