Peningkatan Efektivitas Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam pengelolaan keuangan negara, permasalahan utama yang dihadapi adalah menyeimbangkan antara upaya mewujudkan anggaran negara yang berkesinambungan (fiscal sustainability) dengan secara bertahap memperkecil defisit anggaran negara serta menurunkan peranan pinjaman sebagai sumber pembiayaan, dengan upaya meringankan beban masyarakat terhadap krisis serta mendorong pemulihan ekonomi. 

Defisit anggaran negara telah dapat diperkecil dari 3,9 persen PDB pada tahun 1999/2000 menjadi 1,5 persen PDB di tahun 2000. Namun demikian, beban pinjaman sampai dengan tahun 2000 masih besar seperti tercermin dari rasio pinjaman pemerintah/PDB yang masih 98,3 persen, beban pembayaran bunga pinjaman dalam dan luar negeri yang tercatat 31,0 persen pengeluaran rutin atau 5,1 persen PDB. Beban anggaran menjadi lebih berat lagi dengan adanya subsidi yang masih 38,9 persen pengeluaran rutin atau 6,4 persen PDB. 

Permasalahan menjadi lebih rumit lagi dengan pelaksanaan otonomi daerah, yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 harus dilaksanakan mulai 1 Januari 2001. Namun dalam tahun 2000 berbagai peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk pelaksanaan otonomi daerah tersebut belum sepenuhnya disiapkan. Pelaksanaan otonomi daerah, selain diharapkan berdampak positif pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara, memiliki potensi berdampak negatif berupa gangguan stabilitas makro jika defisit anggaran negara (pusat dan daerah) membengkak. Kemungkinan dampak negatif yang lain adalah merosotnya pelayanan pemerintahan, termasuk pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, jika pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah tidak secara jelas ditetapkan dan secara konsisten dilaksanakan. 

Sementara itu, posisi utang luar negeri pemerintah pada bulan Desember 2000 mencapai US$ 74.188 Juta. Bila dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 1999, yaitu US$ 75.720, terjadi penurunan sebesar 1,1 persen. Dilihat dari sumbernya, posisi Desember 2000 ini berasal dari utang pemerintah bilateral 54,7 persen; multilateral 42,1 persen; dan lainnya 3,2 persen. 

Dilihat dari perkembangan persetujuan yang telah dilakukan, pledge pada tahun 2000 mengalami penurunan 54,5 persen dibandingkan tahun 1999/2000; yaitu dari US$ 7.068,2 pada tahun 1999/2000 turun menjadi US$ 4.500,4 juta pada tahun 2000. Pledge sebesar US$ 4.500,4 juta pada tahun 2000 tersebut terdiri dari 93,2 persen berbentuk Bantuan Proyek dan 6,8 persen berbentuk Pinjaman Setengah Lunak dan Komersial (untuk Proyek). 

Sementara itu, nisbah Debt Service Ratio (DSR), nisbah total utang terhadap eskpor, untuk utang pemerintah pada tahun 2000 adalah 7,2 persen. Nilai ini mengalami penurunan dibandingkan DSR tahun 1999 yang mempunyai nilai 9,9 persen. 

Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan utang luar negeri pemerintah ini adalah tingginya beban pembayaran pokok dan bunga, terutama akibat menurunnya nilai tukar rupiah. Beban ini pada gilirannya akan mengurangi ruang gerak pemerintah untuk melaksanakan program-program pembangunan. Di samping itu, pemanfaatan utang luar negeri pemerintah masih dirasakan belum optimal. Penggunaannya belum semuanya ditujukan pada proyek-proyek pembangunan yang produktif dan belum dilaksanakan secara efektif, sehingga tidak memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Selanjutnya, perencanaan proyek-proyek yang akan dibiayai dari sumber luar negeri belum semuanya dibuat secara matang. Akibatnya, sering kali proyek yang sudah mendapatkan persetujuan pendanaan luar negeri tidak siap untuk dilaksanakan sehingga menimbulkan beban biaya tambahan, seperti commitment fee.


0 comments:

Post a Comment