Hukum Tata Negara Adat dan Domestikasi UUD 1945

Studi terhadap hukum tata negara adat tidak hanya diperlukan dalam kaitannya dengan penerapan norma hukum tata negara adat itu sendiri. Untuk hukum tata negara adat yang sudah tidak hidup dan tidak berlaku lagi dalam masyarakatnya sendiri, tentu tidak dapat diberlakukan. Namun demikian mempelajari hukum tata negara adat itu tetap diperlukan untuk mendekatkan dan menjadikan UUD 1945 sebagai bagian dari sejarah perkembangan masyarakat. Hal itu berarti menunjukkan bahwa konsep-konsep dalam UUD 1945 memiliki akar sejarah.

Walaupun dari penjelasan para pendiri bangsa dapat diketahui bahwa UUD 1945 disusun berdasarkan karakteristik asli masyarakat Indonesia, namun konsep-konsep dan istilah-istilah yang digunakan adalah istilah-istilah asing yang tidak dikenal masyarakat. Pada saat pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK misalnya, istilah dan konsep yang dipakai lebih banyak dari Belanda dan Jerman, misalnya philosophische grondslag, weltanschauung, rechtstaats, dan sebagainya. Sedangkan dalam perubahan UUD 1945, istilah-istilah yang dipakai juga merupakan istilah asing seperti konstitusi itu sendiri, rule of law, separation of power, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan sebagainya.

Istilah-istilah tersebut digunakan adalah untuk memudahkan penyampaian atau komunikasi. Sedangkan esensinya sesungguhnya sudah dapat ditemukan akarnya dalam hukum tata negara adat. Separation of power misalnya, sudah banyak dipraktikkan oleh kerajaan-kerajaan di nusantara dengan memisahkan antara lembaga atau pejabat-pejabat yang menjadi pelaksana pemerintahan (eksekutif), mengadili (hakim), dan yang memberi pertimbangan pembuatan aturan dan keputusan kepada raja, walaupun semua lembaga atau pejabat tersebut kedudukannya berada di bawah raja. Demikian pula dengan konsep supremasi konstitusi, juga dikenal dalam hukum tata negara adat karena terdapat kerajaan-kerajaan yang memiliki kitab-kitab rujukan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan negara. Untuk kesultanan-kesultanan Islam, yang menjadi sumber hukum tertinggi asalah al-Qur’an dan hadist.

Di sisi lain, eksplorasi hukum tata negara adat juga diperlukan untuk menyampaikan konsep-konsep UUD 1945 sesuai dengan pengetahuan dan medan pengalaman masyarakat Indonesia sehingga mudah di pahami dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian UUD 1945 akan menjadi konstitusi yang hidup dan berkembang dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution).

Oleh karena itu, upaya mempelajari hukum tata negara adat memiliki arti yang penting dalam proses membangun konstitusionalisme Indonesia. Hal itu dapat dilakukan dengan mempelajari konstitusi-konstitusi di kerajaan atau kesultanan yang pernah ada di wilayah nusantara. Di Jawa Barat dan Banten misalnya, dua kesultanan besar yang pernah ada adalah Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Kesultanan Cirebon berdiri pada awal abad ke-16 di bawah pemerintahan Sunan Gunung Djati. Kesultanan ini berdiri hampir 2 abad, yaitu hingga tahun 1697 dengan Sultan terakhir adalah Panembahan Sepuh.

Sedangkan Kesultanan Banten terbentuk dari Kerajaan Panten yang telah ada sejak tahun 1330 yang semula berada di bawah kekuasaan Majapahit. Karena pengaruh pedagang Islam yang berdatangan di Banten, berdirilah Kesultanan Islam Banten pada tahun 1552 dengan Sultan pertamanya adalah Sultan Maulana Panembahan Surasowan. Kesultanan Banten berjalan efektif hingga tahun 1820 saat meninggalnya Sultan terakhir, Muhammad Rafi’uddin.


0 comments:

Post a Comment