Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
  1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
  2. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal.
  3. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
  4. Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
  5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.
http://globalsearch1.blogspot.com/2013/06/pengertian-hukum-waris-adat.htmlMenurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada bedanya.

Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.

Hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu:
  1. Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris.
  2. Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta waris tersebut. Serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris.
  3. Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang dinamakan harta warisan, serta apakah harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.
Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis sistem kekerabatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
  • Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).
  • Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).
  • Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain).

Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak, maksudnya dalam hal ini setiap orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal ini mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal mewaris. Sistem ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT dan lain-lain.

Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.

Menurut Sopemo hukum waris tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.

Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.

Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.

Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.


0 comments:

Post a Comment