Pluralitas dan Pluralisme berasal dari kata dasar yang sama, yaitu pluralis (bah. Latin = jamak; bah. Inggris = plural). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah pluralitas tidak ada; yang ada hanya ‘pluralisme’ yang dijelaskan sebagai “hal yang mengutamakan jamak atau tidak satu”, sedangkan ‘pluralis’ diartikan bersifat jamak (banyak). . . . Di Indonesia dewasa ini semakin disadari bahwa sesung- guhnya “masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri atas berbagai suku bangsa” [ . . . KBBI mengenai istilah majemuk]. . . . Dari kejamakan (pluralitas=plurality) masyarakat Indonesia itu muncul pula kejamakan-kejamakan lainnya, misalnya: kejamakan bahasa, kebudayaan, agama dan lain-lain. Berdasarkan kejamakan itu kita berbicara tentang pluralisme agama-agama, kejamakan agama. Jadi, yang kita maksudkan dengan pluralisme agama-agama, yaitu sebenarnya adalah pluralitas agama-agama, yaitu bahwa di Indonesia terdapat lebih dari satu agama . . .
Pluralisme. Penampakan, fenomena, agama-agama menantang kita menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih filosofis-teologis, yang sebenarnya merupakan muatan istilah pluralisme. Pluralisme bukan sekadar konstatasi adanya pluralitas, melainkan menyangkut esensi agama itu sendiri [kutipan dari Th. Kobong, “Pluralitas dan Pluralisme” dalam Agama dan Dialog (Jakarta: BPK-GM, 1999), hlm. 123f.].
Sikap Teologis
Unsur implisit dalam masalah yang kita bicarakan adalah bagaimana seharusnya sikap teologis kita terhadap saudara-saudara kita yang beragama lain. Informasi: Kenyataan Indonesia yang bersifat multi-agama . . . merupakan satu sisi konteks yang tersendiri bagi gereja-gereja protestan di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini sedang berkembang pemahaman teologis yang baru, yang tidak mengacu pada apologia, tetapi pada co-existence dan pro-existence. Inilah yang di kalangan protestan disebut Teologia Religionum, yang lebih jauh daripada hanya dialog antar-umat beragama. Teologia Religionum adalah teologi yang mengacu pada kenyataan adanya berbagai agama yang hidup di dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat Indonesia. Teologi ini masih memerlukan waktu untuk menyatakan diri secara lebih jelas [kutipan dari Wismoady Wahono, Pro-Eksistensi (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 1890.
Sikap Teologis
Unsur implisit dalam masalah yang kita bicarakan adalah bagaimana seharusnya sikap teologis kita terhadap saudara-saudara kita yang beragama lain. Informasi: Kenyataan Indonesia yang bersifat multi-agama . . . merupakan satu sisi konteks yang tersendiri bagi gereja-gereja protestan di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini sedang berkembang pemahaman teologis yang baru, yang tidak mengacu pada apologia, tetapi pada co-existence dan pro-existence. Inilah yang di kalangan protestan disebut Teologia Religionum, yang lebih jauh daripada hanya dialog antar-umat beragama. Teologia Religionum adalah teologi yang mengacu pada kenyataan adanya berbagai agama yang hidup di dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat Indonesia. Teologi ini masih memerlukan waktu untuk menyatakan diri secara lebih jelas [kutipan dari Wismoady Wahono, Pro-Eksistensi (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm. 1890.
Tipe Sikap dan/atau Model
Khazanah pemikiran teologi Kristen mengenai kepercayaan-kepercayaan lain (teologia religionum) mengenal tiga tipe sikap dan/atau model:
Khazanah pemikiran teologi Kristen mengenai kepercayaan-kepercayaan lain (teologia religionum) mengenal tiga tipe sikap dan/atau model:
Sikap eksklusif: Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan. Agama- agama lain tidak mengandung arti menyelamatkan. Cara mendekati orang-orang yang beragama lain ialah melalui misi. Hal ideal yang diinginkan ialah satu agama untuk seluruh dunia. Patut dicatat bahwa saudara-saudara kita para penganut agama Islam juga mengenal dan mempraktrekkan model ini.
Sikap inklusif: pada agama-agama lain juga terdapat keselamatan dari Allah. Namun demikian, Yesus Kristus merupakan norma yang tetap dan penyataan Allah yang menentukan. Walaupun tidak ada keselamatan di luar Kristus, tetapi ada keselamatan di luar agama Kristen. Dengan itu ada pengakuan bahwa di dalam agama-agama lain Kristus juga berkarya, namun secara tersembunyi atau tersamar. Perbedaan agama-agama hanyalah bersifat relatif , namun pada akhirnya, yakni pada akhir jaman, akan menjadi nyata bahwa Kristus telah senantiasa merupakan tujuan dan kepala segala sesuatu.
Sikap pluralis: semua agama mempunyai nilai yang sama. Jadi ada banyak jalan menuju ke keselamatan. Itu berarti bawa kita semestinya membuka diri dalam dialog dengan sesama. Silakan berbicara tentang ke-unik-an Kristus, tetapi Anda pun hendaknya terbuka untuk ke-unik-an Budha, Muhammad, etc. Informasi: Sejak dunia diciptakan kasih dan kuasa Allah telah bekerja di dalam dunia. Dosa manusia tidak meniadakan karya penciptaan Allah. Sebab Allah mengatasi segala kegagalan dan dosa manusia. . . . Ada saat-saat dan kejadian-kejadian yang mengungkapkan kehadiran Allah yang terus-menerus dalam suatu masyarakat yang tidak pernah dipengaruhi oleh agama Kristen. . . . saat-saat ini adalah “saat-saat yang menyelamatkan” dan “kejadian-kejadian yang menyelamatkan” yang sekalipun hanya mewujudkan potongan-potongan dan tidak sempurna, namun sungguh-sungguh juga. Dengan cara tertentu semuanya itu memantulkan kasih dan kuasa Allah yang menyelamatkan. Tetapi perbedaan ini, jika dilihat dari pihak Kristen, disebabkan karena Kristus adalah penubuhan [inkarnasi] yang langsung dan sempurna dari kasih dan kuasa Allah yang menyelamatkan. Tetapi hal ini tidak boleh menjadikan orang Kristen buta akan kehadiran yang terus-menerus di luar agama Kristen.
Unsur-unsur yang menyelamatkan yang terdapat dalam sejarah umat manusia itu mewujudkan kesaksian-kesaksian akan kehadiran Allah di dalam dunia [kutipan dari Haroen Hadiwijono, “Pembimbing ke Dalam Teologia Asia Tenggara” dalam Majalah Gema(Yogyakarta: STT Duta Wacana, Maret 1983, No. 23), hlm. 31].
Unsur-unsur yang menyelamatkan yang terdapat dalam sejarah umat manusia itu mewujudkan kesaksian-kesaksian akan kehadiran Allah di dalam dunia [kutipan dari Haroen Hadiwijono, “Pembimbing ke Dalam Teologia Asia Tenggara” dalam Majalah Gema(Yogyakarta: STT Duta Wacana, Maret 1983, No. 23), hlm. 31].
Beberapa Isyu
Yesus Satu-satunya Jalan? . . . biasanya disebut “ayat-ayat eksklusif” di dalam Alkitab, yang menampilkan Yesus sebagai jalan yang unik dan satu-satunya kepada Allah dan keselamatan. . . . Misalnya: Yoh 3:16, 18; 14:5-6; Kis 4:11-12; Ibr 10:9-10; 1 Tim 2:3-6. [Adanya] penekanan yang berlebihan pada kata “satu-satunya”, adalah bagian dari polemik antara orang Kristen mula-mula dan orang-orang Yahudi, dari mana orang-orang Kristen memisahkan diri. Persekutuan Kristen waktu itu masih kecil. Pada satu pihak, iman mereka kuat dan teguh. Pada lain pihak, iman itu terus-menerus di bawah serangan. Persekutuan itu berada di bawah tekanan yang hebat untuk memberi pembenaran terhadap iman mereka kepada Yesus, Tuhan yang tersalib yang kini mereka alami sebagai Tuhan yang bangkit. Baik oleh karena lingkungan maupun oleh karena kuatnya keyakinan mereka, mereka terbawa untuk membuat klaim- klaim tentang Yesus, yang Yesus sendiri barangkali tak akan melakukannya.
Yesus Satu-satunya Jalan? . . . biasanya disebut “ayat-ayat eksklusif” di dalam Alkitab, yang menampilkan Yesus sebagai jalan yang unik dan satu-satunya kepada Allah dan keselamatan. . . . Misalnya: Yoh 3:16, 18; 14:5-6; Kis 4:11-12; Ibr 10:9-10; 1 Tim 2:3-6. [Adanya] penekanan yang berlebihan pada kata “satu-satunya”, adalah bagian dari polemik antara orang Kristen mula-mula dan orang-orang Yahudi, dari mana orang-orang Kristen memisahkan diri. Persekutuan Kristen waktu itu masih kecil. Pada satu pihak, iman mereka kuat dan teguh. Pada lain pihak, iman itu terus-menerus di bawah serangan. Persekutuan itu berada di bawah tekanan yang hebat untuk memberi pembenaran terhadap iman mereka kepada Yesus, Tuhan yang tersalib yang kini mereka alami sebagai Tuhan yang bangkit. Baik oleh karena lingkungan maupun oleh karena kuatnya keyakinan mereka, mereka terbawa untuk membuat klaim- klaim tentang Yesus, yang Yesus sendiri barangkali tak akan melakukannya.
Perkembangan ini juga ditandai oleh suatu pergeseran yang berarti dari sikap teosentris, yang menjadi ciri ajaran Yesus. Lambat laun, Yesus menjadi pusat dan Allah terdesak ke pinggiran. Allah tidak dipuja sebagai juruselamat, melainkan Kristus. Hidup kita yang baru tidaklah berakar pada Allah, melainkan Kristus. Bahkan kalimat “melalui Yesus Kristus” di dalam doa-doa kita, kemudian menjadi doa kepada Kristus [kutipan dari Wesley Ariarajah, Alkitab dan Orang-Orang yang Berkepercayaan Lain,terj. (Jakarta: BPK-GM, 1997), hlm. 33f.].
Tentang Islamisasi dan Kristenisasi
Apa dasarnya kita mengeluh perihal Islamisasi. Apakah kita kalah dalam proses Kristenisasi dibanding dengan Islamisasi, sehingga kita menjadi tidak senang. Ataukah kita mempunyai sikap yang jelas menentang Islamisasi yakni agar bangsa kita tetap berdasarkan Pancasila. Karena itu kita tidak boleh sektarian juga. Kita harus mampu menghayati kebangsaan kita. Celakanya Amerika Serikat sering menjadi orientasi “hamba-hamba” Tuhan di Indonesia, sehingga fundamentalisme Kristen yang berkembang di sanapun ikut mempengaruhi gereja-gereja di Indonesia. Dari uraian di atas bukan berarti saya mau menolak apa yang ada dalam Alkitab, namun hal ini sangat menantang kita, termasuk saya. Bagaimana saya harus beragama di Indonesia. Saya tidak mau mengalami pengalaman Israel, saya mau belajar dari pengalaman Israel. Untuk menghindari agar kegagalan yang sama tidak dilakukan dalam kehidupan keberagamaan kita [kutipan dari John Titaley, “Kebangkitan Fundamentalisme Agama: Pemecahan atau Kekhawatiran?” dalam Berteologi di Tengah Masyarakat Majemuk Indonesia (Salatiga: Bina Jemaat, 1994), hlm. 31].
P.I., Yes or No?
P.I. Yes! . . . keharusan kita ber-P.I., tidak perlu dipersoalkan alias sudah taken for granted. Sadar atau tidak, yang menjadi persoalan adalah bagaimana persepsi kita mengenai kemajemukan Indonesia? Apakah kemajemukan Indonesia itu, menurut keyakinan kita adalah kenyataan yang harus kita ubah? . . . Tapi sadarkah Anda konsekuensinya? Konsekuensinya adalah Anda tidak mempunyai lagi hak moral untuk mencegah kelompok yang lain melakukan perbuatan serupa. Artinya, saudara-saudara kita yang beragama Islam mempunyai kekuasaan penuh untuk mengislamkan Indonesia [kutipan dari Eka Darmaputera, “Memberitakan Injil di Tengah
Masyarakat Majemuk Indonesia” dalam Weinata Sairin (ed.), Misi Gereja Memasuki Milenium Baru (Jakarta: BPK-GM, 2002), hlm. 127f.]. Excursus: Misi gereja di Asia/Asia Tenggara seharusnya bukan dipandang sebagai terdiri dari menaklukkan para anggota kepercayaan-kepercayaan lain, tetapi sebagai terdiri dari tumbuh bersama mereka dalam pengetahuan dan pengalaman dari karya Allah yang menyelamatkan di dunia ini. Sebab satu hal yang tidak boleh kita lupakan, yaitu bahwa kita harus dengan rendah hati mengakui, bahwa Kekristenan yang melembaga itu saja [i.e. gereja] tidak mungkin dapat menyelamatkan dunia. Ini adalah suatu fakta sejarah dan suatu kebenaran teologis yang hampir tidak dapat diingkari. Gereja sebagai lembaga di Asia/Asia Tenggara mewujudkan suatu minoritas, dan akan tetap begitu. Lihatlah, bahwa pekerjaan misi telah berakhir di Cina; India sebagian besar berada di bawah pengaruh agama Hindu; di Indonesia Islam mendesakkan pengaruhnya terus-menerus. Dalam keadaan yang demikian, bagaimana gereja akan menyelamatkan dunia? Menye- lamatkan suatu bangsa saja tidak dapat [kutipan dari Hadiwijono, loc. cit.]
Tentang Islamisasi dan Kristenisasi
Apa dasarnya kita mengeluh perihal Islamisasi. Apakah kita kalah dalam proses Kristenisasi dibanding dengan Islamisasi, sehingga kita menjadi tidak senang. Ataukah kita mempunyai sikap yang jelas menentang Islamisasi yakni agar bangsa kita tetap berdasarkan Pancasila. Karena itu kita tidak boleh sektarian juga. Kita harus mampu menghayati kebangsaan kita. Celakanya Amerika Serikat sering menjadi orientasi “hamba-hamba” Tuhan di Indonesia, sehingga fundamentalisme Kristen yang berkembang di sanapun ikut mempengaruhi gereja-gereja di Indonesia. Dari uraian di atas bukan berarti saya mau menolak apa yang ada dalam Alkitab, namun hal ini sangat menantang kita, termasuk saya. Bagaimana saya harus beragama di Indonesia. Saya tidak mau mengalami pengalaman Israel, saya mau belajar dari pengalaman Israel. Untuk menghindari agar kegagalan yang sama tidak dilakukan dalam kehidupan keberagamaan kita [kutipan dari John Titaley, “Kebangkitan Fundamentalisme Agama: Pemecahan atau Kekhawatiran?” dalam Berteologi di Tengah Masyarakat Majemuk Indonesia (Salatiga: Bina Jemaat, 1994), hlm. 31].
P.I., Yes or No?
P.I. Yes! . . . keharusan kita ber-P.I., tidak perlu dipersoalkan alias sudah taken for granted. Sadar atau tidak, yang menjadi persoalan adalah bagaimana persepsi kita mengenai kemajemukan Indonesia? Apakah kemajemukan Indonesia itu, menurut keyakinan kita adalah kenyataan yang harus kita ubah? . . . Tapi sadarkah Anda konsekuensinya? Konsekuensinya adalah Anda tidak mempunyai lagi hak moral untuk mencegah kelompok yang lain melakukan perbuatan serupa. Artinya, saudara-saudara kita yang beragama Islam mempunyai kekuasaan penuh untuk mengislamkan Indonesia [kutipan dari Eka Darmaputera, “Memberitakan Injil di Tengah
Masyarakat Majemuk Indonesia” dalam Weinata Sairin (ed.), Misi Gereja Memasuki Milenium Baru (Jakarta: BPK-GM, 2002), hlm. 127f.]. Excursus: Misi gereja di Asia/Asia Tenggara seharusnya bukan dipandang sebagai terdiri dari menaklukkan para anggota kepercayaan-kepercayaan lain, tetapi sebagai terdiri dari tumbuh bersama mereka dalam pengetahuan dan pengalaman dari karya Allah yang menyelamatkan di dunia ini. Sebab satu hal yang tidak boleh kita lupakan, yaitu bahwa kita harus dengan rendah hati mengakui, bahwa Kekristenan yang melembaga itu saja [i.e. gereja] tidak mungkin dapat menyelamatkan dunia. Ini adalah suatu fakta sejarah dan suatu kebenaran teologis yang hampir tidak dapat diingkari. Gereja sebagai lembaga di Asia/Asia Tenggara mewujudkan suatu minoritas, dan akan tetap begitu. Lihatlah, bahwa pekerjaan misi telah berakhir di Cina; India sebagian besar berada di bawah pengaruh agama Hindu; di Indonesia Islam mendesakkan pengaruhnya terus-menerus. Dalam keadaan yang demikian, bagaimana gereja akan menyelamatkan dunia? Menye- lamatkan suatu bangsa saja tidak dapat [kutipan dari Hadiwijono, loc. cit.]
0 comments:
Post a Comment