Tanda-Tanda Kerajaan Allah

Tugas dan panggilan orang Kristen di dalam dunia ini tidak pernah terlepas dari tugas dan panggilannya sebagai mitra sekerja Allah yang telah, sedang dan akan mendatangkan kerajaanNya. Yang dimak sudkan dengan kerajaanNya di sini adalah “Kerajaan Allah”, yaitu suatu terminologi di dalam teologi Kristen yang mengandung pengertian: suatu keadaan atau kenyataan di mana Allah dengan sepenuhnya akan memerintah dan memberlakukan kehendakNya, yaitu keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh umat manusia. Umat kristiani bekerja di dalam pengharapan ini, yaitu pengharapan bahwa pada suatu ketika Allah akan memberlakukan secara penuh keadilanNya, ke-benaranNya, perdamaianNya dan kesejahteranNya bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Ia tidak hanya berharap. Ia dipanggil untuk bekerja bersama-sama dengan Allah [untuk] mewujudkannya. 
 
Umat Kristiani tidak bertugas dan dipanggil untuk mendirikan Kerajaan Allah. Ini di luar batas kemam- puannya. Sebab Kerajaan Allah hanya dapat didatangkan dan didirikan oleh Allah sendiri. Tugas umat kristiani adalah untuk mendirikan “tanda-tanda” yang menunjuk kepada Kerajaan Allah itu. Sebab itu, ia berjuang untuk mewujudkan keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bagi umat manusia. Bukan dengan keyakinan bahwa ini akan dapat terwujud secara sempurna di dalam dunia yang fana ini, tetapi oleh karena ia menjadi tanda-tanda (dan oleh karena itu bersifat relatif!) dari Kerajaan Allah itu [kutipan dari Eka Darmaputera, “Tugas Panggilan Bersama Agama-Agama di Indonesia: Suatu Refleksi Kristiani” dalam J. Garang (ed.), Peranan Agama-Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dalam Negara Pancasila yang 
 
 
Excursus: In his frontier engagement and participation in the life and mission of the Church within our changing Asian society, the Christian often experiences difficulty and failure. Sometimes he has to make compromise. On other occasions he may feel his weakness and inadequacy to bear heavy burdens and pierce thick walls. In this sense he is not unlike his non-Christian friends. But the decisive difference exists at one crucial point: he has an indefinable sign of hope in his freedom from sin. As he accepts Christ’s forgiveness and resurrection, which are concretely manifested in history, the Christian is a free man: free from sin, free from death, free even from loss of face. He once lost face before God, but Christ has restored him. Thus the eschatological aspect of our witness and service may be expressed in the following way. Together with God’s people throughout the world we are playing in an orchestra. Each has a different instrument, large or small, and the players --- men and women, skilful and unskillful, coming from different backgrounds --- are all participating in the same practice. The rehearsal is fragmentary and incomplete. Occasionally it is interrupted by wind and storm. But it goes on in a spirit of hope and joy. We continue our preparation since we believe that at last the time will come when the Eternal Conductor will direct the orchestra and announce the theme, which may be called the Symphony of Redemption [kutipan dari Masao Takenaka, “New Frontiers in the Life and Mission of the Church in Asia Today,” dalam [Jurnal] Student World

 
“P R O – E K S I S T E N S I”

Agama-agama . . . tahu bahwa di dalam diri mereka sendiri tersimpan benih-benih ajaran yang sangat kondusif bagi perkembangan pemikiran baru yang berwawasan lebih terbuka, baik bagi masa kini maupun bagi masa depan bersama. Mereka juga tahu bahwa di dalam khazanah ajaran mereka tersimpan benih-benih ajaran yang sangat positif dan kreatif bagi keprihatinan terhadap nasib dunia dengan segala isinya secara bersama. Mereka mulai berpengalaman untuk saling bertemu dan berdialog. Bahwa mereka mulai sadar bahwa mereka “terpanggil” untuk memperbaiki kehidupan bersama ini mulai dari skala terkecil yang ada di depan mata kepala sendiri, sampai dengan yang berskala global.

Pengetahuan dan kesadaran seperti itu, terlebih yang prihatin terhadap masalah-masalah bersama, makin lama makin mendalam dan makin mempertemukan agama-agama itu dalam wawasan dan suasana yang baru. Pengetahuan dan kesadaran itu berkembang, mulai dari tingkat formal dan paling perifer sampai ke tingkat yang substansial. [ . . . ]

Tentu timbul pertanyaan: sampai di mana dan mau ke mana proses membuka diri itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, secara garis besar dapat dikatakan bahwa proses itu sudah berjalan jauh dan mendalam tanpa mengganggu identitas masing-masing agama. Tahap yang tampak agak awal dari proses itu ialah tahap [1] ignorant, artinya tahap di mana masing-masing agama berjalan sendiri-sendiri tanpa menyebut-nyebut agama-agama lain. Tahap selanjutnya adalah tahap yang mungkin bisa disebut dengan istilah [2] “eksklusif”, artinya tahap di mana masing-masing agama tahu bahwa ada agama lain tetapi hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Agama yang satu tidak mau tahu tentang agama yang lain. Tahap berikutnya ialah tahap [3] apologetis. Dalam tahap ini masing-masing agama mengetahui adanya agama lain, bertemu dengannya, tetapi lebih banyak berusaha menonjolkan dirinya sendiri dengan menekankan perbedaan atau kelebihan dirinya dari agama lain, sambil berusaha “melawan” agama lain itu. Tahap ini adalah tahap yang dirasa paling keras dan paling banyak memakan korban jiwa manusia. Tahap yang berkutnya adalah tahap [4] toleransi dan ko-eksistensi, di mana agama-agama itu bisa menerima kehadiran agama lain di samping dirinya sendiri dengan segala kegiatannya. Penerimaan itu tentu tidak mencegah terjadinya pergaulan antar-agama. Bahkan untuk memberikan suasana yang baik, dalam tahap ini berkembanglah gagasan dan penghayatan tentang trikerukunan dalam pergaulan. Tampaknya tahap inilah yang sekarang paling nyata berlaku di tengah-tengah masyarakat kita.

Namun tampaknya tahap toleransi dan ko-eksistensi itu pun belum merupaka tahap akhir. Banyak kegiatan keagamaan . . . menunjukkan tahap berikut yang lebih mengacu kepada kebersamaan yang tentunya diharapkan lebih baik bagi semua pihak. Tahap inilah yang dalam suatu pertemuan internasional

di Malang bulan Mei tahun 1991 disebut sebagai tahap [5] pro-eksistensi. Artinya, tahap ini adalah tahap di mana agama-agama itu ada bukan hanya untuk dirinya sendiri atau untuk saling ada, melainkan ada untuk keberadaan dan kehidupan bersama. Tahap ini muncul berdasarkan kenyataan dan keyakinan bahwa dalam era globalisasi ini tidak ada pihak yang bisa hidup sendirian, apalagi menyelesaikan semua masalah sendirian. Semua pihak saling tergantung, dan keberadaan atau kehidupan bersama sangat ditentukan oleh saling ketergantungan. Agama-agama pun mulai mengetahui dan menyadari kesaling-tergantungan itu. Oleh karena itu agama-agama mulai mengembangkan pemahaman dan penghayatannya tentang kesaling tergantungan itu demi keberadaan dan kehidupan bersama. Agama-agama ada dan berkiprah demi pro-eksistemsi. Kalau tidak, semua pihak akan berhenti ada dan cepat atau lambat mati, secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama. Kelestarian kehidupan makin menjadi pokok utama yang dipertanggungjawabkan bersama. 

Kata kunci dalam pro-eksistensi adalah kata “hidup” dan semua derivatnya. Hidup dan kehidupan itu adalah given dan bukan sesuatu yang diciptalan oleh manusia atau makhluk lain. Untuk itu, semua tindakan yang melawan hidup dan kehidupan adalah tindakan yang melawan pemberi hidup dan kehidupan itu. Sebagai umat beragama dan beriman, kita mengatakan bahwa pemberi hidup dan kehidupan itu adalah Tuhan. Jadi pro-eksistensi adalah keadaan dan kegiatan yang menyambut pemberian Tuhan itu dengan penghargaan yang sama nilainya dengan hidup dan kehidupan itu sendiri. Dalam pro-eksiostensi semua kemampuan manusia dan alam diberlakukan untuk hidup dan kehidupan itu serta pelestariannya. Dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang tidak bisa tidak dilakukan, khususnya oleh manusia

Dalam kebersamaannya dengan agama-agama lain, pro-eksistensi adalah yang paling memberikan keseimbangan. Untuk itu upaya menggali ajaran agama yang mengacu kepada hidup dan kehidupan bersama perlu dipacu untuk mengimbangi ajaran yang eksklusif. Kecenderungan fragmentarisme dan sektarianisme perlu diimbangi dengan kecendrungan inklusifisme. Inklusifisme rasanya lebih mendekati maksud Tuhan dalam memberikan ajaranNya kepada manusia. Kalau ajaran Tuhan yang inklusif itu bisa lebih dimunculkan dalam agama-agama, maka pro-eksistensi bukanlah sesuatu yang sulit. Sebab siapakah di antara umat beragama itu yang tidak akan menaati maksud Tuhan? [kutipan dari Wismoady Wahono,


0 comments:

Post a Comment