Pembicaraan tentang sengketa
antar lembaga negara dalam konteks kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
UUD 1945 setelah perubahan, sesungguhnya harus
dilakukan dalam rangka pembahasan organisasi dan kelembagaan negara. Pembicaraan demikian hanya dapat dimasuki
dengan tepat apabila kita juga membicarakan hakikat kekuasaan negara, yang
disusun dalam struktur organisasi secara melembaga. Hal tersebut erat kaitannya
dengan filsafat hukum dan negara serta perkembangan sejarah baik secara umum
maupun secara nasional dimasing-masing negara, yang juga akan tercermin dalam
konstitusi negara tersebut. Dalam kaitan itu ajaran teori kedaulatan yang
dikenal dalam sejarah, yaitu masing-masing Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja,
Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara, bertumbuh dan
menjadi landasan penyusunan kekuasaan negara yang kemudian dirumuskan dalam
konstitusi. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshidiqie SH, tiga faham kedaulatan yaitu
kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat dapat dikatakan
berlaku secara simultan dalam khasanah pemikiran bangsa ini tentang kekuasaan
negara, dimana kekuasaan kenegaraan dalam wadah NKRI pada dasarnya adalah
derivat dari kesadaran kolektif bangsa mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha
Esa, yang diwujudkan dalam faham kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.[1] Selanjutnya dikatakan prinsip kedaulatan
hukum diwujudkan dalam gagasan rechtsstaat
atau the rule of law serta
prinsip supremasi hukum, dimana dalam perwujudannya kebijakan hukum harus
disusun melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan ketentuan sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.[2]
Ajaran kedaulatan rakyat akan tercermin bukan hanya dalam pembentukan hukum dan
pengambilan kebijakan dalam penyelenggaraan negara, akan tetapi secara formal
juga tercermin dalam struktur dan organisasi pemegang kekuasaan penyelenggaraan
negara.
Faham
kedaulatan rakyat yang dalam sejarah sangat mengenal doktrin Trias Politika dari Montesqieu,
menekankan diperlukannya penyusunan kekuasaan negara dengan tidak memusatkan
kekuasaan negara dalam satu tangan atau badan saja, untuk menjamin perlindungan
kebebasan warga negara. Trias politika tersebut didasarkan pada pemisahan kekuasaan
negara yang lazim dikenal dengan separation
of powers, tetapi beberapa sarjana
menyebut bahwa karena tidak terdapat pemisahan kekuasaan secara absolut, maka
yang terjadi sesungguhnya adalah pembagian kekuasaan (division of powers). Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan dalam
tiga kekuasaan pokok, yaitu, eksekutif,
legislatif dan judikatif. Ketiga kekuasaan tersebut kemudian dirinci dan
dilaksanakan dalam banyak organ, badan atau lembaga yang melaksanakan kekuasaan
atau sebagian kekuasaan negara tersebut yang diperlukan dalam menyelenggarakan
kehidupan bersama untuk tujuan yang ditentukan secara bersama pula. Pembagian
kekuasaan negara tersebut dapat terjadi secara horizontal, yaitu diantara
cabang eksekutif, legislatif dan judikatif yang dirinci dalam organ, badan atau lembaga
ditingkat pusat yang setara, dan sebagai akibat tidak dianutnya ajaran
pemisahan kekuasaan secara mutlak, maka konsekwensi logis dari padanya adalah
terjadinya proses chekcs and balances diantara
cabang-cabang kekuasaan tersebut. Checks
and balances tersebut merupakan mekanisme pembatasan dan keseimbangan dari
satu cabang kekuasaan terhadap cabang
kekuasaan yang lain.
Secara
vertikal pembagian kekuasaan¾bukan hanya dalam sistem federal, dalam negara
kesatuan seperti Indonesia¾juga dilakukan antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah, yaitu daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5)
menegaskan pembagian kekuasaan tersebut dengan memberikan kepada Pemerintahan
Daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, dengan hak untuk menetapkan
peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
[1] Dalam Firmansyah dkk, Lembaga
Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional (KRHN) cet 1, 2005 hal x-xi.
[2] Ibid.
0 comments:
Post a Comment